Arak Arakan, Perayaan Humanistik-Sosialis
Oleh: Matroni el-Moezany*
Berangkat dari kegelisahan yang akhirnya menjadi nilai luhur dari terciptanya tradisi-tradisional yaitu apakah mungkin dalam nilai-nilai tradisi terdapat keluhuran dan kearifan watak manusia? Mungkinkah nilai-nilai tersebut dipertahankan sepanjang masa? Bagaimana cara menggali dan melestarikannya. Jadi dengan kita bertanya, kearifan itu bisa kita ketahui.
Salah satu dari sekian banyak pertunjukan kebudayaan atau tradisi yang khas dan sungguh unik di Madura adalah adanya Arak Arakan. Meski telah banyak berbagai pertunjukan modern yang relatif praktis dan menjanjikan kepuasannya lebih-lebih lewat Arak Arakan , masyakarat Madura membuktikan bahwa warisan kebudayaan dan tradisi nenek moyang lebih mempunyai nilai filosofis yang sangat tinggi dalam hubungan dengan masyarakat lain. Mayoritas masyarakat menyadari betul bahwa Arak Arakan adalah suatu bentuk khazanah local dan budaya yang sangat penting yang harus dijaga eksistensinya.
Arak-arakan adalah seni pertunjukan yang unik dan sederhana. Kehadirannya tidak saja dibutuhkan oleh komunitasnya, tetapi juga dinantikan oleh warga masyarakat yang lain. Upacara yang dilatarbelakangi berbagai harapan dan kehendak ini menyatu dengan kebutuhan akan tontonan yang jarang dinikmati oleh warga setempat.
Arak-arakan sebagai bentuk ritual, dalam konteks sosiologis, menjadi bentuk kebersamaan sekaligus saling ketergantungan antar warga masyarakat untuk mencapai suatu tujuan. Bahkan bentuk ritual sudah menjadi bagian hidup masyarakat. Bentuk ritual adalah penampilan kembali atau representation, atau awal penampilan, dan peniruan kehidupan, tetapi yang selalu memiliki tujuan akhir. Seperti yang diamati oleh Brandon bahwa bagi masyarakat di negara-negara Asia Tenggara, prosesi upacara tidak sekedar bermakna mistis tetapi juga tontonan. Warga masyarakat terlibat sebagai pengikut upacara sekaligus sebagai penonton, dan keduanya berlangsung secara simultan tanpa mengganggu satu sama lain.
Arak-arakan di Madura dalam konteks seni pertunjukan menjadi suatu “jembatan” antara kehidupan yang “sebenarnya” dengan seni. Seperti yang dikatakan oleh RM Soedarsono bahwa segi rohaniah upacara harus dikedepankan melalui penampakan simbol-simbol yang mengandung komponen seni pertunjukan. Simbol-simbol yang beragam ini menjadi tempat bersandar bagi penonton untuk maksud dan keperluan tertentu.
Sebaliknya keindahan yang terwujud melalui komposisi simbol estetis yang dipertontonkan pada penonton tidak semata bagi penonton “kasat mata” tetapi juga yang “tidak kasat mata” yang berhubungan dengan upacara yang terselenggara.
Komposisi simbol estetis menjadi suatu bentuk tontonan yang menyajikan aspek-aspek estetis di dalamnya, sehingga tontonan tersebut dapat dinikmati oleh seluruh warga masyarakat tidak terkecuali di luar komunitas penyelenggaranya. Maka komposisi simbol estetis dalam sebuah upacara mampu mendasari suatu perwujudan yang disebut sebagai seni pertunjukan.
Sebab, dengan adanya tradisi ini terlihat jembar (gembira) dengan ditampilkan acara Arak Arakan ini. Mereka bisa menikmati permainan yang dimainkan, artinya dalam tradisi ini tidak hanya anak-anak tapi juga orang tua serta ibu-ibu yang ikut andil menikmati keindahan dan keasyikan tradisi tersebut.
Arak Arakan merupakan kontes dengan diiringi permainan manusia berbaju kera, manusia berbaju wanita cantik, dan harimau jadi-jadian yang beri aksesoris layaknya orang berdandan cantik yang diiringi musik saronen yaitu sejenis musik yang terdiri dari terompet, kendang, gong, dan sek-sek. Sepintas Arak Arakan ini mirip seperti reog, cuma ada perbedaan dalam beberapa hal. Jika dalam musik saronen adu bagus musik dan jogetnya untuk menentukan baiknya, dalam Arak Arakan di samping musik saronennya, juga joget dan permainan yang dilakukan oleh manusia berpakaina wanita cantik, manusia perpakaian harimau dan manusia berpakian kera.
Arak-arakan ini memberikan pada pembaca satu alternatif pendokumentasian bentuk upacara ritual dengan pendekatan seni pertunjukan. Upacara yang menjadi suatu budaya lisan dicoba dikenalkan melalui budaya tulis. Selama ini sangat jarang suatu fenomena ritual dimaknai melalui pendekatan seni pertunjukan. Dengan membaca bahkan mengembangkan kearifan local ini, maka akan terkuaklah kekayaan idiom-idiom kebudayaan bangsa Indonesia. Dengan demikian kita mampu mengenal dan memahami keberagaman budaya kita dan secara arif menyikapi perbedaan-perbedaan idiom-idiom etnis di dalamnya.
Matroni el-Moezany* adalah Allumni Al-in’am, sekarang sedang melanjutkan studinya di UIN SUKA Yogyakarta dan menjadi pemerhati masalah kebudayaan. Tinggal di Yogyakarta.
Minggu, 02 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar