Good Bye, Lindri
Oleh: Silvia Tz el-Rasyid
Aku dengan kehidupanku, hanya aku yang tahu. Pagi itu aku benar-benar ter puruk karena ibu menyeramkan kopi pahit. “plasss...”. suara itu masih terus berayun-ayun di telingaku dan masih terasa perih dipipiku. Saat itu ibu begitu geram dan marah sehingga melayangkan tangannya kemudian hinggap dipipiku.
“Ibu sudah beberapa kali bilang, jangan lagi bertamu kerumah Lindri“ begitulah ibu dengan kemarahannya meledak. Aku hanya bisa menundukkan kepala dan meneteskan air mata dipipi.
Aku selalu bertanya-tanya pada diri sendiri, kenapa Lindri dan keluarganya yang harus aku jauhi. Sore ini aku kembali menemui Lindri, di tempat biasa, danau dekat warung mak Ija, penjual nasi.
“Lin, aku ngak tahu, kenapa orang tuaku melarang kita berkomonikasi“
“Apa salah dan dosaku kak, mengapa harus ada tabir di antara kita?“ suaranya lirih dan lembut penuh kekecewaan.
“Maafkan kakak Lin, karena telah gagal menjadi seorang kakak yang baik“ Aku berusaha meraih pipinya, tapi sesegera ia mengusap air matanya dengan jemari lentiknya. Satu sampai dua jam, aku dan Lindri hanya membungkam, disaksikan para kodok yang sedang menyanyikan lagu asmara. Membuat aku merasakan sesuatu yang beda dari sebelumnya. Mungkinkah aku sedang mencampur adukkan perasaan ini?. Lindri menjadi adikku ataukah hari ini aku menganggapnya sebagai kekasihku. Aku tidak boleh menghianati persaudaraan ini.
“Lindri, kakak pulang dulu. Jaga kesehatan ya, jangan lupa makan teratur“ ucapku.
“Lindri ingin banget mengunjungi rumah kakak tapi....”
“Sudahlah, kakak yakin besok atau lusa semuanya akan berubah”
Tok tok tok... “Assalamu‘alaikum,“ kalimat pertama sesampainya didepan pintu. Kudengar suara sandal jepit ibu sedang menghampiri pintu yang beru saja kuketok.
“Salam... dari mana saja Jono?“ selalu kata-kata itu dan ketutnya menjadi camilanku setiap pulang kerumah,“ “Dari teman bu,“ “Jangan pikir ibu tidak tahu kelakuanmu didanau, menemui si Lindri putri dari juragan Slamet itu kan?“ Aku terkejut ketika ibu memfokuskan penbicaraannya terhadap juragan Slamet. Dari mana ibu mengetahui hal itu ?.
Aku selalu berusaha mencari tahu, mengapa kelurga ini melarangku bertamu kerumah Lindri. Salah satu usahaku, aku sering kali mendekatkan telinga dipintu tertutup rapat, kamar ibu dan bapak. Saat mereka berbincang renyah dengan nada berbisik-bisik. Mereka tidak pernah memberikan satu alasanpun padaku, lebih-lebih ibu. tapi kata bapak, keluraga Lindri pernah menyakiti ibu.
“Jono, sebentar“ perlahan aku membalikkan badan kearah suara itu. Suara yang menggelegar, ciri khas suara bapak. Seakan membangunkan binatang-binatang liar yang tertidur pulas ditengah hutan. “Mau menemui si Lindri lagi, hah?“ Sekali lagi aku tak membalas dua patah kalimat bapak. Sudah kuduga, bapak memang tidak hafal kata-kata lain selain itu dan itu saja. Aku rindu danau itu. Dua hari ini, aku tidak bisa menemui Lindri karena ibu menyibukkanku dengan pekerjaan rumah. Begitulah siasat ibu agar aku tidak menemui Lindri didanau. Pada hal sekarang Lindri sedang sedih karena akan ditunangkan dengan pilihan orang tuanya, yang tidak ia cintai.
Lindri pasti membutuhkan aku. apa benar yang dikatakan bapak, kealurga Lindri pernah menyakiti ibu. Siniskah mereka?. Kejam dan brutalkan mereka?. Atau bapak membohongiku. Siapa sebenernya yang harus aku percaya. Ibu dan bapak?. Atau Lindri dan keluarganya yang selama ini salalu ramah dan baik padaku?.
Pagi ini aku menanyakan sesuatu pada ibu. “ibu, kalau boleh, Jono ingin minta penjelasan sama ibu. Tolong katakan sejujurnya, ada apa diantara ibu dengan keluarga Lindri?. Jelaskan sesuatu tentang hal hal itu!.“ Aku tidak berani menatap sepasang mata ibu. “Jono, tatap mata ibu“ sepertinya pagi ini aku merasakan kedamaian, tutur kata ibu yang lembut membuat aku berjiwa tenang dan merasa memiliki sesuatu yang baru yaitu, kedamaian yang selama ini kurindukan. Kembali ibu melanjutkan pembicaraannya, “ibu minta maaf Jono, karena ibu tidak bisa memberikan penjelasan apa-apa“
“Tapi kenapa Lindri harus terlibat bu, apa ia pernah menyakiti ibu?. Jono sangat menyayangi Lindri karena Jono menganggapnya sebagai adik kandung“
“Jadi... slama ini kamu dekat sama Lindri bukan karena kamu suka sama dia?“
“Tidak, sama sekali tidak“
“Jono, ibu tahu niat baik kamu, tapi apapun alasan kamu, ibu tetap tidak akan mengijinkan kamu dekat sama Lindri apalagi keluarganya“
“Tapi...“
“Sudah, jangan ibu bikin emosi lagi“
Aku tak berkutik dan tidak tahu lagi harus bagaimana. Tapi aku tidak boleh menyerah. Aku harus bisa mengambil hati ibu agar mau memberikan satu penjelasan, karena aku yakin, pada akhirnya ibu pasti luluh. Tidak mengapa kemaren dan hari ini gagal tapi esok pasti kudapati.
Hari ini adalah hari kesepuluh, aku absen menemui Lindri. Aku akan mencoba membujuk ibu lagi, “bu,“ kurengkuh tangan ibu.
“Jono, ibu paham. Sudah saatnya ibu menceritakan semuanya. Dan tak layak ibu membebani kamu seperti ini“ Ibu menghela napas sejenak.
“Detik ini ibu akan menceritakan sesuatu, tentang masa lalu ibu“ Sambil membelai-belai rambutku, ibu memulainya.
“Dulu, bapak Lindri adalah tunangan ibu.“ Betapa sorot mataku tertuju kemasalalu ibu. Seakan masa-masa itu hidup kembali. Tak sabar aku menunggu kronologisnya.
“Selama lima tahun ibu dan bapak Lindri mengikat hubungan. Selama itu, ibu menganggap baik-baik saja dengan hubungan itu. Tapi...“ Ibu memelukku dengan erat dan hangat, menumpahkan kasih sayangnya. “Tapi, bapak Lindri menghianati ibu. Dia melamar Mia, ibu kandung Lindri. Tanpa memutuskan ibu” Perlahan percikan air mata ibu menetes kelenganku ditengah pelukannya “pada hal ibu sangat menyayanginya, Jono.
Dan ibu tidak pernah berpaling darinya. Karena lamarannya diterima oleh Mia, maka seminggu kemudian mereka melangsungkan akad pernikahan.“ Aku pun tidak kuat membendung air mata ini semakin menderas. “ Setelah beberapa bulan kemudian, ibu menerima telpon dari bapak Lindri. Dia minta maaf dan mengakui kesalahannya. Dia menikahi Mia karena punya segalanya dibanding ibu “. Ibu menghela napas lagi “dua tahun kemudian, ibu bertemu dengan bapakmu. Ibu merasa nyaman dan bahagia deagannya dan tak lama kamudian ibu menikah dengannya. Itu sebab, mengapa ibu melarang kamu dekat dengan Lindri sekaligus keluarganya. Ibu sangat sakit hati atas sifat bapak Lindri.“ Air mataku seakan terkuras. Aku tidak membayangkan, jika aku adalah ibu.
Jika Lindri tahu akan hal ini, pasti sangat sedih. Aku tidak ingin dia kecewa dengan bapaknya. Tapi, bagaimanapun dia harus meneriama kenyataan in. Dan hari ini aku akan membuka lembaran baru. Hidup tanpa seorang adik Lindri hanyalah teman biasa. Entah mengapa semua ini terjdi padaku.
Silvia, XIIB SMA Pesantren Al-In’am
Sebongkah Pengorbanan
Oleh : Faizah, VIII B Mts Al-In’am
Iza, sudah dua hari ini tidak keluar dari kelasnya. Sepi, sunyi terasa menyatu dijiwanya, yang ada di pikirannya hanyalah Evan. Disela-sela kesepiannya, ia mengambil buku hariannya. Ia curahkan segala isi hatinya.
Kepasrahan telah kupupuk dalam hati untuk menhapus duka
Yang menyelimuti jiwa...
Namun ternyata, aku kalah dalam bayangmu
Kasih, sekian lama kuarungi langkah tanpa dirimu
Kini yang tersisa hanyalah kisah lama yang membisu
Diantara kita berdua.
Seusai curhatannya, ia meletakkan bolpennya. Tiba-tiba Cinta datang.
“Iza, Ilfa nunguin kamu tuh, diluar“ kata Cinta. Iza segera menemui Ilfa.
“Hai Fa, uda lama menunggu?“
“Ya nggaklah, baru semenit“ balas Ilfa. Dan ia memainkan ponselnya.
“Fa, kok cuma mainin Ponsel sih, mau ngomong apa?“ tanya Iza.
“Iza, masihkah dihatimu tersimpan segelintir cinta untuk Evan?“ tanpa basa-basi Ilfa telanjangkan kata-katanya.
Iza menjatuhkan pandangannya disetiap orang yang berlalu lalang disekitarnya. Kemudian ia menumpahkan jawaban.
“Jujur, aku nggak bisa ngerubah presaan itu, Fa!“
“Apa kamu masih mencintai Evan?“ tanya Ilfa sekali lagi.
“Maafin aku Fa“ jawab Iza.
“Jika memang semua ini benar, inilah reaksinya, cinta memang tak mesti memiliki. Perlu kamu tahu Za, aku ingin orang yang aku cintai bahagia, jadi tolong buat dia bahagia. Demi semuanya, aku rela“
Walau ada sebutir air mata yang tertahan dimatanya namun Ilfa yakin pengorbanan ini lebih baik.
“Apa maksud perkataanmu tadi, Fa?“ Iza berkata kaku.
“Bahagiakan Evan!“ Ilfa mendekatkan suaranya ketelinga Iza. Kemudian ia beranjak pergi.
Setenang samudra hati kita...
Tanpa badai dan gelombang, walau angin datang
Mencoba untuk menggoyah hatiku
Dan untaian cinta yang kita rajut
Ditengah sesaknya nafas duka, semoga kan bertahan
Menyempan asa dan harapan disetiap relung jiwa kita.
Angin segera menerpa pohon ketika Iza mengenjakkan kaki diperaduannya. Kini, ia bermaksud mengejar cinta yang tlah lama terkubur, mengejar Evan yang slalu menjadi penghias mimpinya. Tanpa lelah Iza terus melangkahkan kakinya tuk menemui Evan.
Alangkah terkejutnya saat Evan membuka pintu dan menemukan Iza dihadapannya yang tengah berdiri. Mereka terpaku, ribuan kata terengkai dalam hati, namun apalah daya, bibir tak mampu brucap untuk melukisnya. Sementara api asmara semakin lama semakin berkobar. Mereka saling menatap dalam kebisuan.
“E... Evan,“ sapa Iza.
“Iza... “ ucapannya terpotong.
“Evan, aku datang untuk menemuimu dan mencari sesuatu yang telah lama menghilang. Ada orang bilang, jika mimpi tak datang menghampiri kita, maka kita yang harus menghampirinya“
“Apa maksud?“
“Van, dulu, sekarang maupu selamanya. Perasaan ini akan terus terpatri dan tidak akan pernah mengelupas“ Jalasnya. “Van, dengar aku. Ilfa dan Cinta yang meyakinkan aku untuk mendatangimu“
“Za, aku tidak bisa berbohong lagi. Cintaku seutuh bulan purnama dilangit ketujuh. Seayu pesonamu. Secantik taman Firdaus. Dan setulus hati ini“ Evan merengkuh tangan Iza dan meletakkan didadanya berakhir semua keraguan yang tersisa hanyalah kebahagiaan.
Neng Ningsih
Cerpen Selendang Sulaiman*
Langit biru terang, bulannya bulat bercahaya. Dengan kerlip segelintir bintang. Serupa tahi lalat disudut atas kanan bibir Ningsih. Parasnya seperti purnama. Berperawakan sedang, antara orang Belanda dan Jepang. Langsing, dengan tubuh sintal memikat, langgam lenggoknya lembut, lambai tangannya laksana kepak sirip ikan, langkahnya bagai ombak pasang ke tepian, ketika bertegur sapa, halus, sehalus layar berkibar. Sesepoi angin mendesir halus di tepi pantai.
”Neng,” begitu orang-orang memanggilnya. Kepribadiannya yang santun membuat orang-orang kampung kagum. Sebab beda dengan kakak adiknya, Bapak Ibunya dan masyarakat setempat sekampungnya. Padahal ia dilahirkan di kampung yang sama dan nenek moyang yang sama, yang ketika bicara atau bercakap cendrung keras dan lantang. Mereka dikenal sebagai manusia pasir. Sebab saban hari mereka tidur tempatnya di atas pasir. Ningsih hidup di tengah keluarga sederhana.
Di antara rumah-rumah sederhana, memanjang pantai, selayak deretan perahu-perahu. Pekerjaan bapaknya nelayan. Sebagaimana pekerjaan para masyarakat yang hidup di tepi pantai. Setiap menjelang malam, para nelayan menuju perahunya masing-masing. Bapak Ningsih dengan gagahnya menggendong karung di punggung kananya. Ia kelihatan semangat sekali tampak dari langkah kakinya sebagaimana para Prajurit Arya Wiraraja sedang berjalan menuju arena perhelatan perang melawan para pasukan yang dikirim raja Buleleng dari Bali untuk menculik Putri Raja di Keraton. Sedang di tangan kirinya, buntalan jala, dan jaring, serta sebungkus nasi jagung. Tidak pernah lupa sebotol kecil kopi kental bergantung di pinggang kanannya, sebagai penangkal kantuk. Di sana perahu-perahu bergoyang-goyang bermain angin. Mereka pada siap mengayuh dayung, jalankan perahu menyapu gelombang ombak dan badai sekalipun. Demi sekedar sesuap nasi untuk menghidupi anak istri.
”Ka’, udara malam dingin sekali. Ini, jadikanlah penghangat tubuhmu!” Saran ibu Ningsih pada suaminya seraya menyodorkan buntalan sarung. Suaranya serak mendayu diserpih angin musim, mengalun bersama kibar layar dan kecipak riak anak ombak, busa-busa hilir mudik ke tepian mencium pasir, memilin kapuk, membentuk buih. Tidak jauh perahu lepas landas dari pangkalannya. Ningsih tergopoh berlari kecil, sedikit terbirit menuju pantai, mengejar laju perahu bapaknya yang kian menengah, tiang layar tampak gagah, berkibar.
”Bapak, pak...! hati-hati.!” Teriaknya, sekeras mungkin menjangkau jarak. Dari atas perahu, bapaknya memberi isyarat, mengibas-ngibaskan buntalan selimut di tangannya. Ningsih tersenyum. Berbalik menuju rumahnya. Sebelum malam larut, ia membenamkan mata. Mencipta mimpi tentang tujuh bintang terangkai di jala dan jaring. Atau tentang bulan yang jatuh di kain layar perahu.
***
Burung-burung camar berkicau di reranting pohon cemara, sahut menyahut. Kecipak lirih anak ombak damai menyisir bibir pantai sesepoi angin mendesir. Pertanda pagi di ambang cakrawala. Sebentar lagi, tepi pantai di penuhi perahu-perahu yang semalaman arungi lautan. Kaum perempuan, para istri, kembali jaga dari tidurnya meski belum tanak. Begitupun Ningsih, dengan ringan melepas mimpi di atas dipan.
Perahu-perahu bersandar. Suasana pagi berganti riuh oleh keramaian penuh kegirangan kaum perempuann, para istri serta anak-anak mereka, menyambut kedatangan sang suami.
Bocah-bocah lugu bermain pepasir. Selayak menoreh cita-cita dan impian. Selayak sebuah orkestra memecah buih di tepian, percakapan dan senda gurau mereka penuh kebahagiaan. Sempurnalah pagi, meski hanya dengan sebersit senyum dan gelak tawa geli anak-anak pasir bermain kejar-kejaran. Sesekali menghampiri bapaknya sambil berkata ”Bapak, ajari aku melaut!” kemudian pergi dengan gelak lugunya. Berlari lagi, kejar-kejaran menyusuri pantai.
Di antara ria bocah bocah, Ningsih penuh semangat membantu bapaknya, meski sekedar mengangkat seperangkat jala dan jaring satu persatu. Terpaan sinar matahari, terasa hangat, sehangat kopi yang Ibu Ningsih persipkan buat suaminya. Bersama sejenak mereka istirahat menikmati kopi yang telah disediakan oleh kaum istri. Rasanya tidak terlalu manis dan tidak pahit, dibikin sedikit kental. Untuk melengkapi istirahat, disulutnya sebatang rokok lintingan di celah sepasang bibirnya. Dengan satu hisapan, dadanya membusung ke depan, kedua matanya melek, sedikit berdahak. Maklum rasa tembakaunya masih rasa alami. Bau asap rokok itu, tidak menjadi masalah bagi kaum perempuan, para istri, sebab itu sudah menjadi biasa. Seruputan demi seruputan, hisapan demi hisapan, cerita demi cerita, dan ketawa demi ketawa usai melengkapi waktu istirahatnya. Selanjutnya bekerja lagi, dengan semangat yang tiada pernah rapuh layaknya batu karang. Semangat meraka tidak seperti air laut yang ombaknya terjadi pasang surut.
”Ah.....!!! akhirnya, selesai juga pekerjaan kita!” kata salah satu nelayan disambung dengan hisapan dalam rokok lintingan di bibirnya. Bersama-sama mereka kembali menuju rumahnya masing-masing. Meninggalkan perahu-perahu yang berderet rapi di pangkalannya, di tepian. Layar berkibar, seolah memberi salam. Perahu diistirahatkan. Kecuali layar yang tetap berkibar berdansa bersama angin. Para nelayan istirahat. Bapak Ningsih tergolek lesu di atas pasir dalam mandhapa. Melepas lelah dan kantuk. Hanya suara angin mendesir menyisir butir-butir pasir dan daun-daun mungil cemara di belakang rumahnya. Matahari beranjak, warnanya kemerahan.
Tidak seperti biasanya, para nelayan bersantai ria di rumahnya masing-masing. Sore itu tak satu nelayan yang kelihatan sibuk mempersiapkan segala peralatan untuk melaut. Malam harinya, perahu-perahu hanya bergoyang di pangkalannya. Sebab para nelayan tidak lepas landas melaut. Keesokan harinya, pagi menjadi sunyi. Tepi pantai sepi. Tanpa percakapan, tanpa gurauan, tanpa gelak tawa, pun tanpa girang bocah-bocah bermain pasir. Hanya anak ombak tenggelam kepalung cahaya mentari pagi. Bersama ikan menari ria, saling kejar di lautan, mengepakkan siripnya. Dan rembulan usai merampung purnama.
Satu minggu tepi pantai dan perahu ditinggal nelayan. Sebab sudah menjadi tradisi dan bahkan menjadi hukum adat warga setempat di kampung tersebut. Setiap pergantian musim, para nelayan tidak melaut. Sebab pada waktu tersebut merupakan hari naas para nelayan. Bagi para nelayan itu bukan masalah. Lantaran mereka menjadi ada waktu untuk ngumpul bersama dengan keluarga di malam hari. Bahkan di sempatkan untuk bertandang ke rumah-rumah tetangga. Satu minggu pula, bau amis ikan-ikan yang khas tak lagi tercium. Layar hanya berkibar mendebarkan kerinduan laut pada perahu-perahu yang menari di sisi bibirnya. Hanya Ningsih berdiri sendiri melepas pandang ke lautan sampai pada puncak bertemu langit biru.
Pekerjaan itu, Ningsih lakukan setiap sore. Selain untuk menikmati indahnya senja ia torehkan impian dan cita-cita ke jantung matahari. Tentang masa depan saudar-saudaranya serta anak cucunya kelak. Satu minggu berlalu. Nasib naas telah jauh dari perahu-perahu. Para nelayan kembali melaut, sebagaimana sedia kala. Bersama senja yang memantulkan seluit merah jingga yang timbul tenggelam di tubuh gelombang menjemput perahu. Para nelayan dengan gagahnya menuju perahunya masing-masing.
Dengan segala persiapan sebagai bekal di tengah lautan menjaring ikan-ikan.
Heningpun pecah, seiring deru parahu cemara dan gelombang mencipta nada-nada. Layarpun berkibar menantang amukan badai bila tiba-tiba datang menghempas perahu. Seraya menyeruput kopi, Bapak Ningsih beranjak bangun bersiap diri, bergegas arungi luasnya lautan, menyibak gelombang dan memecah gelap serta dinginnya malam. Seperti biasa, istrinya, ibu Ningsih mengikuti dari belakang, sebelum perahu dilayarkan buntalan sarung disodorkan dan sepatah pesan kata mesra ”hati-hati”. Begitupun Ningsih, dengan setia mengantar bapaknya Perahu berlayar, tingalkan pantai. Ningsih berlalu lalang sejenak, duduk di tepi. Kedua tangannya dijanggahkan, bersandar. Sepasang kakinya dibiarkan menjulur, dicium anak ombak mengantar kapuk-kapuk berlian. Tatapnya menjurus jauh, lepas bebas, buntuti kibar layar di sana, di tengah lautan. Seolah perahu itu menuju cakrawala.
Tiba-tiba angin bertiup kencang. Daun cemara menderuh. Ningsih kedinginan, memeluk erat lututnya. Kelopak matanya kian tajam memicing. Tanpak perahu bergoyang terhempas angin, selayak badai menyambar batu karang. Ia panik. Sesaat kemudian angin itu raib, kemudian senyap. Perahu lenyap pada keterbatasan pandang. Ningsipun bangun dari duduknya, menghela nafas dalam-dalam, beranjak menuju rumahnya. Rembulan melingsir keperaduannya.
Di ufuk timur selilit merah semu mewarnai cakrawala. Burung camar riang berdendang kicau serupa instrumen pagi buta. Para perempuan, kaum istri telah jaga dari lelap tidurnya. Sehabis beres-beres dan melakukan kewajiban di dapur. Meraka keluar menuju pantai, berderet menanti perahu-perahu tiba. Dari kejauhan, di tengah laut tampak layar berkibar. Wajah-wajah ceria terbias di antara pernak-pernik buih yang pecah dihablur badai angin. Dan perahu-perahu itu, bergoyang-goyang kian menepi. Bocah-bocah berteriak memanggil-manggil bapaknya, mereka senang kegirangan sebab bapaknya kembali pulang. Suaranya yang lugu beradu nyaring dengan debur ombak dan deru daun cemara diterpa angin. Sedang ibu-ibu mereka, Ningsih hanya bersenyum kecil mengulum kecemasan, khawatir ada salah satu perahu yang tak kembali. Sebab cuaca sedang buruk dan firasatnya mereka juga buruk.
Suasana meriuh. Perahu-perahu telah menepi. Namun, terasa ada yang kurang. Satu perahu masih belum menepi. Ibu Ningsih berdiri tegak menatap jauh ke laut lepas. Wajahnya diliputi kecemasan. Ningsih gelisah, sesekali tengadah. Matahari melak, bertengger di pundak-pundak gelombang berbadai, cahayanya timbul tenggelam. Perahu Bapak Ningsih masih belum juga muncul. Ningsih dan ibunya serta nelayan-nelayan yang lain menanti dengan sabar. Wajah mereka diliputi keresahan. Perasaan takut menjelma. Prasangka burukpun lahir terbayang angin dan badai yang semalaman menghantam batu karang.
Semakin hanyut dalam perasangka-perasangka buruk, semakin pula matahari menyengat badan mereka yang tengah terjurus lurus di atas kepalanya. Ningsih menangis, air matanya tumpah, lebur bersama asin air laut menghantar gelombang. Sementara bocah-bocah itu hanya melongo-longo tak mengerti, melihat Ningsih yang terisak dalam tangisnya. Matahari semakin condong ke ufuk barat. Perahu yang ditunggangi Pak Sujakna masih tak kembali. Hingga malam merenggut senja.
Kesedihan meruah di tepi pantai. Sementara para nelayan yang lain pulang ke rumahnya masing-masing. Ningsih dan Ibunya masih mematung kaku menghadap laut. Air matanya semakin deras mengalir. Rembulanpun mesum malam itu. Dan bintang-gemintang seolah enggan untuk berkedip hiasi malam yang kelam. Ningsih rubuh, tubuhnya jatuh di atas pasir. Keresahan, kecemasan, dan ketakutan oleh perasangka dan firasat buruknya membuatnya putus asa. Bersimpuh tak berdaya, tengadah memanjat do’a penuh harap. Namun, takdir tidak berpihak padanya.
*Penulis adalah Allumnus Sanggar Conglet Al-in’am. Bergiat di Lesehan Sastra Kutub, Tahlilan Sastra Matapena LkiS, Sekolah Seni AfterNuun, dan di komunitas Kosong Yogyakarta. Sekarang masih melanjutkan studinya di Yogyakarta.
E-mail: bilal.leman@yahoo.com.
Minggu, 02 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar