Assalamu’alaikum Warohmatulllahi Wabarokatuhu
Puji syukur kehadirat Allah ‘azza wa jalla atas karunia-Nya yang telah memberikan anugerah dan nikmat yang tiada banding dengan terbitnya Bulletin” IJTIHAD “ yang perdana di bumi Almamater kita tercinta Al-In’am.
Selanjutnya Rahmat dan keselamatan semoga senantiasa tetap mengalir bak semerbak wangi kembang melati yang aromanya menembus tujuh petala bumi, ke pusara baginda Gusti Kanjeng Rasul Muhammad S.A.W sang kekasih dan pujaan hati.
Selanjutnya.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tradisi menulis di kalangan warga pesantren sudah berlangsung sejak lama, hal ini bisa kita lihat dari kaya-karya Ulama’ Salafuna Al-Shalihien semisal Hadlratussyekh Hasyim Asy’ari (Rois Akbar NU), Syaikhona Muhammad Kholil Al-Bangkalani,Imam Nawawi Al-Banteni, Syekh Mahfudh Al-Tarmasi Kediri, K.H.Mahdi Kamaluddin(Kakek Pengasuh Al-In’am) dan dalam konteks kemaduraan ulama’yang masih produktif menulis sampai sekarang adalah Beliau seperti K.H.Habibullah Rois (Pengasuh PP Al-Is’af Kalabaan Guluk-Guluk), K.H.Thaifur Ali Wafa (Pengasuh PP Assadad Tanjung Ambunten), D.Zawawi Imron (Budayawan madura) dan masih banyak lagi sederet nama penulis laiinnya.
Maka kita sebagai “ santri “ patut mengacungkan dua jempol atas kegigihan dan keseriusan mereka dalam mempertahankan tradisi luhur tersebut. Bisa dibayangkan oleh kita seandainya tradisi menulis itu hanya berhenti pada zaman Mujtahid yang empat yang merefleksikan hasil ijtihad nya dalam bentuk goresan-goresan dan untaian pena dalam kertas yang dapat kita nikmati manfaatnya sampai saat ini, lalu sesudah itu tidak ada lagi? Wallahu a’lam Bisshawab.
Kami berharap dengan lahirnya Bulletin “IJTIHAD” ini mampu melahirkan penulis-penulis handal yang mampu mewarnai wajah-wajah dunia dan menggetarkan seluruh penjuru jagat raya ini. Terutama kader-keder Al-In’am secara lebih khusus semoga mampu menjadi insan yang mampu berijtihad merobah desains dan perwajahan dunia. Amien.
Akhirnya Redaksi hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang ikut bersusah payah menyumbang ide-ide Brillian dan doa demi suksesnya Bulletin “IJTIHAD“ perdana ini.Saran, kritik, masukan sangat kami harapkan.
Selamat Membaca, dan Ber-Ijtihad !
Wassalam. [Redaksi]
Minggu, 02 Agustus 2009
Opini
“Rethinking” 20% Anggaran Pendidikan”
Oleh: Juma’ Darmaputra*
Sinyal terang anggaran pendidikan nasional telah diberikan pemerintah melalui pidato kenegaraannya (15/08/2008) tentang optimalisasi anggaran pendidikan nasional sebesar 20% dari pendapatan negara dan anggaran pendapatan daerah. Kabar ini akan sangat memberikan angin segar bagi masa depan pendidikan nasional Indonesia yang sampai saat masih mencari bentuk dan formasi yang benar dan sesuai dengan kontekssosio-kultural bangsa.
Tentunya, kabar ini patut mendapatkan apresiasi yang cukup serius dari masyarakat. Karena selama ini para akademis, intlektual, para praktisi pendidikan dan mayarakat secara umum sangat mempersoalkan minimnya anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan yang diamanatkan oleh UUD 20%, ternyata tidak bisa terealisasi dengan baik. Padahal sudah jelas dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945 bahwa “negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan pendidikan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Optimalisasi anggaran pendidikan sebesar 20% merupakan langkah pemerintah dalam memenuhi amanat konstitusi. Walaupun dana terbatas namun demi kemajuan sebuah bangsa hal itu bukan apa-apa, karena sampai saat ini tercatat bahwa dana pendidikan telah melonjak naik 154,2 triliun dari dua tahun sebelumnya yang hanya sebesar 78,5 triliun. Tambahan anggaran pendidikan yang akan dialokasikan tahun depan sebesar 46,1 triliun. Jika anggaran dari 20% dari total belanja negara tahun depan mencapai Rp 1.122,2 triliun atau sebesar Rp 178,9 triliun, maka dengan adanya tambahan dana sebesar 46,1 triliun akan menjadi Rp 224 triliun. (Kompas 16/08/2008).
Jumlah anggaran pendidikan itu sudah termasuk alokasi dana di Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama dan Dana Alokasi Umum (DAU) pendidikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan dan Dana Bagi Hasil pendidikan serta dana otonomi khusus (Otsus) pendidikan.(Kompas16/08/2008).
Alokasi anggaran dana pendidikan sebesar 20% akan dijadikan modal untuk merehabilitasi ratusan gedung sekolah yang rusak, membangun puluhan ribu kelas dan ribuan sekolah baru, peningkatan mutu dan fasilitas sekolah, perbaikan kesejahteraan guru, dosen, dan peneliti serta beasiswa dan lain sebagainya. Peningakatan penghasilan dosen dan guru akan meningkat naik mencapai 1,855 juta atau dua kali lipat lebih besar lagi dari penghasilan guru atau dosen yang sebelumnya hanya sebesar 842.600 perbulan.
Kebijakan pemerintah mengenai optimalisasi anggaran pendidikan sebesar 20% sangat bagus dan apreciate sekali. Kebijakan itu patut kita ajuakan jempol dan syukuri, tetapi dengan penanganan yang akuntabel, transparan, proporsional, profesional dan bertanggung jawab. Karena dalam hal ini, pemerintah telah berusaha menjadi pemimpin yang baik dan peduli terhadap nasib dunia pendidikan bangsa. Namun, kita harus memikirkan ulang konsekwensi dari itu semua. Jangan-jangan kebijakan itu justru menimbulkan masalah yang lebih besar lagi.
Karena, kalau sampai kita mengabaikan kemungkinan yang akan terjadi, adanya praktek korupsi dana pendidikan akan semakin subur terjadi. Selama ini politisasi dana pendidikan dan korupsi dana pendidikan merupakan hal yang lumrah dan biasa terjadi. Sehingga kehati-hatian dalam mengelola prosedur dan penyalurannya harus tepat sasaran dan tepat guna, jangan sampai dan sebesar 20% terbuang sia-sia dimakan tikus-tikus/ koruptor pendidikan.
Mental korupsi dalam dunia pendidikan menunjukkan posisi yang cukup serius, yaitu dengan menempati urutan kedua setelah Departemen Agama. Ia adalah sebuah anomali. Mana mungkin pendidikan Indonesia bisa berkembang dan maju kalau metal dan watak korupsi di parlemen telah merasuk dan menelikung dunia pendidikan. Alih-alih meningkatkan mutu SDM, tetapi praktek penyalahgunaan dana itu semakin besar.
Maka, dalam konteks ini kita harus berhati-hati terhadap segala bentuk kapitalisasi pendidikan atau perdagangan pendidikan. Karena saat ini dana sebesar itu merupakan lahan empuk untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, bagi mereka yang memiliki mental korupsi dan -dalam bahasanya Darmaningtyas-project oriented. Mengingat bahwa indoensia saat ini telah dihuni para koruptor kelas kakap (white collar crime).
Dimana-mana kita akan menemui praktek korupsi, mulai dari dana pendidikan, dana sosial, keagamaan dan lain sebagainya telah ditikam dengan praktek korupsi sang koruptor. Hasil audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) memberikan penjelasan bahwa rendahnya tingkat kemempuan mengelola anggaran pemerintah telah meningkatkan tingkat kebocoran dan inefisiensi dana pendidikan yang tinggi. Kebocoran dan inefisiensi dana itu telah terjadi di semua lapisan atau strata sekolah, mulai SD, SMP sampai PT. Menurut Darmaningtyas bahwa anggaran pendidikan yang tingi hanya memiliki makna bagi upaya peningkatan mutu pendidikan nasional. Bila seluruh dana itu terserab untuk pengembangan pendidikan secara efektif dan efisien, maka praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tidak akan terlalu banyak terjadi, dengan adanya kontrol dan fungsionalisasi sudah ada serta kematangan konsep.
Anggaran pendidikan itu akan sangat menentukan arah kemajuan pendidikan kita, selama konsep, tujuan, kontrol dana pendidikan bisa dijalankan dengan baik. Adanya praktek korupsi, kapitalisasi pendidikan dan adanya project oriented bisa dianulir dan diberantas. Mutu SDM Indonesia tidak akan pernah membaik selama penyelenggaraan pendidikan juga kacau.
Pendidikan Indonesia tidak akan mengalami perubahan yang signifikan kalau tingkat korupsi dana pendidikan masih tinggi. Padahal harapan semua bangsa adalah dari pendidikan yang baik. Pendidikan akan sangat menentukan tingkat mutu sumber daya manusia. Karena pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Pendidikan akan mampu merubah tatanan dan peradaban bangsa menjadi lebih baik dan bermutu. Benar, apa yang dikatakan Darmaningtyas (2005) bahwa pendidikan merupakan “aset” bangsa yang paling berharga. Anggaran pendidikan merupakan jalan menuju arah pendidikan yang baik. Pendidikan yang baik adalah mesin pencetak generasi gemilang. Perbaiki pendidikan, perbaiki kualitas SDM bangsa.
* Alumnus SMA Pesantren Al-In’am, kini melanjutkan studi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Oleh: Juma’ Darmaputra*
Sinyal terang anggaran pendidikan nasional telah diberikan pemerintah melalui pidato kenegaraannya (15/08/2008) tentang optimalisasi anggaran pendidikan nasional sebesar 20% dari pendapatan negara dan anggaran pendapatan daerah. Kabar ini akan sangat memberikan angin segar bagi masa depan pendidikan nasional Indonesia yang sampai saat masih mencari bentuk dan formasi yang benar dan sesuai dengan kontekssosio-kultural bangsa.
Tentunya, kabar ini patut mendapatkan apresiasi yang cukup serius dari masyarakat. Karena selama ini para akademis, intlektual, para praktisi pendidikan dan mayarakat secara umum sangat mempersoalkan minimnya anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan yang diamanatkan oleh UUD 20%, ternyata tidak bisa terealisasi dengan baik. Padahal sudah jelas dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945 bahwa “negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan pendidikan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Optimalisasi anggaran pendidikan sebesar 20% merupakan langkah pemerintah dalam memenuhi amanat konstitusi. Walaupun dana terbatas namun demi kemajuan sebuah bangsa hal itu bukan apa-apa, karena sampai saat ini tercatat bahwa dana pendidikan telah melonjak naik 154,2 triliun dari dua tahun sebelumnya yang hanya sebesar 78,5 triliun. Tambahan anggaran pendidikan yang akan dialokasikan tahun depan sebesar 46,1 triliun. Jika anggaran dari 20% dari total belanja negara tahun depan mencapai Rp 1.122,2 triliun atau sebesar Rp 178,9 triliun, maka dengan adanya tambahan dana sebesar 46,1 triliun akan menjadi Rp 224 triliun. (Kompas 16/08/2008).
Jumlah anggaran pendidikan itu sudah termasuk alokasi dana di Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama dan Dana Alokasi Umum (DAU) pendidikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan dan Dana Bagi Hasil pendidikan serta dana otonomi khusus (Otsus) pendidikan.(Kompas16/08/2008).
Alokasi anggaran dana pendidikan sebesar 20% akan dijadikan modal untuk merehabilitasi ratusan gedung sekolah yang rusak, membangun puluhan ribu kelas dan ribuan sekolah baru, peningkatan mutu dan fasilitas sekolah, perbaikan kesejahteraan guru, dosen, dan peneliti serta beasiswa dan lain sebagainya. Peningakatan penghasilan dosen dan guru akan meningkat naik mencapai 1,855 juta atau dua kali lipat lebih besar lagi dari penghasilan guru atau dosen yang sebelumnya hanya sebesar 842.600 perbulan.
Kebijakan pemerintah mengenai optimalisasi anggaran pendidikan sebesar 20% sangat bagus dan apreciate sekali. Kebijakan itu patut kita ajuakan jempol dan syukuri, tetapi dengan penanganan yang akuntabel, transparan, proporsional, profesional dan bertanggung jawab. Karena dalam hal ini, pemerintah telah berusaha menjadi pemimpin yang baik dan peduli terhadap nasib dunia pendidikan bangsa. Namun, kita harus memikirkan ulang konsekwensi dari itu semua. Jangan-jangan kebijakan itu justru menimbulkan masalah yang lebih besar lagi.
Karena, kalau sampai kita mengabaikan kemungkinan yang akan terjadi, adanya praktek korupsi dana pendidikan akan semakin subur terjadi. Selama ini politisasi dana pendidikan dan korupsi dana pendidikan merupakan hal yang lumrah dan biasa terjadi. Sehingga kehati-hatian dalam mengelola prosedur dan penyalurannya harus tepat sasaran dan tepat guna, jangan sampai dan sebesar 20% terbuang sia-sia dimakan tikus-tikus/ koruptor pendidikan.
Mental korupsi dalam dunia pendidikan menunjukkan posisi yang cukup serius, yaitu dengan menempati urutan kedua setelah Departemen Agama. Ia adalah sebuah anomali. Mana mungkin pendidikan Indonesia bisa berkembang dan maju kalau metal dan watak korupsi di parlemen telah merasuk dan menelikung dunia pendidikan. Alih-alih meningkatkan mutu SDM, tetapi praktek penyalahgunaan dana itu semakin besar.
Maka, dalam konteks ini kita harus berhati-hati terhadap segala bentuk kapitalisasi pendidikan atau perdagangan pendidikan. Karena saat ini dana sebesar itu merupakan lahan empuk untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, bagi mereka yang memiliki mental korupsi dan -dalam bahasanya Darmaningtyas-project oriented. Mengingat bahwa indoensia saat ini telah dihuni para koruptor kelas kakap (white collar crime).
Dimana-mana kita akan menemui praktek korupsi, mulai dari dana pendidikan, dana sosial, keagamaan dan lain sebagainya telah ditikam dengan praktek korupsi sang koruptor. Hasil audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) memberikan penjelasan bahwa rendahnya tingkat kemempuan mengelola anggaran pemerintah telah meningkatkan tingkat kebocoran dan inefisiensi dana pendidikan yang tinggi. Kebocoran dan inefisiensi dana itu telah terjadi di semua lapisan atau strata sekolah, mulai SD, SMP sampai PT. Menurut Darmaningtyas bahwa anggaran pendidikan yang tingi hanya memiliki makna bagi upaya peningkatan mutu pendidikan nasional. Bila seluruh dana itu terserab untuk pengembangan pendidikan secara efektif dan efisien, maka praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tidak akan terlalu banyak terjadi, dengan adanya kontrol dan fungsionalisasi sudah ada serta kematangan konsep.
Anggaran pendidikan itu akan sangat menentukan arah kemajuan pendidikan kita, selama konsep, tujuan, kontrol dana pendidikan bisa dijalankan dengan baik. Adanya praktek korupsi, kapitalisasi pendidikan dan adanya project oriented bisa dianulir dan diberantas. Mutu SDM Indonesia tidak akan pernah membaik selama penyelenggaraan pendidikan juga kacau.
Pendidikan Indonesia tidak akan mengalami perubahan yang signifikan kalau tingkat korupsi dana pendidikan masih tinggi. Padahal harapan semua bangsa adalah dari pendidikan yang baik. Pendidikan akan sangat menentukan tingkat mutu sumber daya manusia. Karena pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Pendidikan akan mampu merubah tatanan dan peradaban bangsa menjadi lebih baik dan bermutu. Benar, apa yang dikatakan Darmaningtyas (2005) bahwa pendidikan merupakan “aset” bangsa yang paling berharga. Anggaran pendidikan merupakan jalan menuju arah pendidikan yang baik. Pendidikan yang baik adalah mesin pencetak generasi gemilang. Perbaiki pendidikan, perbaiki kualitas SDM bangsa.
* Alumnus SMA Pesantren Al-In’am, kini melanjutkan studi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Kolom Budaya
Arak Arakan, Perayaan Humanistik-Sosialis
Oleh: Matroni el-Moezany*
Berangkat dari kegelisahan yang akhirnya menjadi nilai luhur dari terciptanya tradisi-tradisional yaitu apakah mungkin dalam nilai-nilai tradisi terdapat keluhuran dan kearifan watak manusia? Mungkinkah nilai-nilai tersebut dipertahankan sepanjang masa? Bagaimana cara menggali dan melestarikannya. Jadi dengan kita bertanya, kearifan itu bisa kita ketahui.
Salah satu dari sekian banyak pertunjukan kebudayaan atau tradisi yang khas dan sungguh unik di Madura adalah adanya Arak Arakan. Meski telah banyak berbagai pertunjukan modern yang relatif praktis dan menjanjikan kepuasannya lebih-lebih lewat Arak Arakan , masyakarat Madura membuktikan bahwa warisan kebudayaan dan tradisi nenek moyang lebih mempunyai nilai filosofis yang sangat tinggi dalam hubungan dengan masyarakat lain. Mayoritas masyarakat menyadari betul bahwa Arak Arakan adalah suatu bentuk khazanah local dan budaya yang sangat penting yang harus dijaga eksistensinya.
Arak-arakan adalah seni pertunjukan yang unik dan sederhana. Kehadirannya tidak saja dibutuhkan oleh komunitasnya, tetapi juga dinantikan oleh warga masyarakat yang lain. Upacara yang dilatarbelakangi berbagai harapan dan kehendak ini menyatu dengan kebutuhan akan tontonan yang jarang dinikmati oleh warga setempat.
Arak-arakan sebagai bentuk ritual, dalam konteks sosiologis, menjadi bentuk kebersamaan sekaligus saling ketergantungan antar warga masyarakat untuk mencapai suatu tujuan. Bahkan bentuk ritual sudah menjadi bagian hidup masyarakat. Bentuk ritual adalah penampilan kembali atau representation, atau awal penampilan, dan peniruan kehidupan, tetapi yang selalu memiliki tujuan akhir. Seperti yang diamati oleh Brandon bahwa bagi masyarakat di negara-negara Asia Tenggara, prosesi upacara tidak sekedar bermakna mistis tetapi juga tontonan. Warga masyarakat terlibat sebagai pengikut upacara sekaligus sebagai penonton, dan keduanya berlangsung secara simultan tanpa mengganggu satu sama lain.
Arak-arakan di Madura dalam konteks seni pertunjukan menjadi suatu “jembatan” antara kehidupan yang “sebenarnya” dengan seni. Seperti yang dikatakan oleh RM Soedarsono bahwa segi rohaniah upacara harus dikedepankan melalui penampakan simbol-simbol yang mengandung komponen seni pertunjukan. Simbol-simbol yang beragam ini menjadi tempat bersandar bagi penonton untuk maksud dan keperluan tertentu.
Sebaliknya keindahan yang terwujud melalui komposisi simbol estetis yang dipertontonkan pada penonton tidak semata bagi penonton “kasat mata” tetapi juga yang “tidak kasat mata” yang berhubungan dengan upacara yang terselenggara.
Komposisi simbol estetis menjadi suatu bentuk tontonan yang menyajikan aspek-aspek estetis di dalamnya, sehingga tontonan tersebut dapat dinikmati oleh seluruh warga masyarakat tidak terkecuali di luar komunitas penyelenggaranya. Maka komposisi simbol estetis dalam sebuah upacara mampu mendasari suatu perwujudan yang disebut sebagai seni pertunjukan.
Sebab, dengan adanya tradisi ini terlihat jembar (gembira) dengan ditampilkan acara Arak Arakan ini. Mereka bisa menikmati permainan yang dimainkan, artinya dalam tradisi ini tidak hanya anak-anak tapi juga orang tua serta ibu-ibu yang ikut andil menikmati keindahan dan keasyikan tradisi tersebut.
Arak Arakan merupakan kontes dengan diiringi permainan manusia berbaju kera, manusia berbaju wanita cantik, dan harimau jadi-jadian yang beri aksesoris layaknya orang berdandan cantik yang diiringi musik saronen yaitu sejenis musik yang terdiri dari terompet, kendang, gong, dan sek-sek. Sepintas Arak Arakan ini mirip seperti reog, cuma ada perbedaan dalam beberapa hal. Jika dalam musik saronen adu bagus musik dan jogetnya untuk menentukan baiknya, dalam Arak Arakan di samping musik saronennya, juga joget dan permainan yang dilakukan oleh manusia berpakaina wanita cantik, manusia perpakaian harimau dan manusia berpakian kera.
Arak-arakan ini memberikan pada pembaca satu alternatif pendokumentasian bentuk upacara ritual dengan pendekatan seni pertunjukan. Upacara yang menjadi suatu budaya lisan dicoba dikenalkan melalui budaya tulis. Selama ini sangat jarang suatu fenomena ritual dimaknai melalui pendekatan seni pertunjukan. Dengan membaca bahkan mengembangkan kearifan local ini, maka akan terkuaklah kekayaan idiom-idiom kebudayaan bangsa Indonesia. Dengan demikian kita mampu mengenal dan memahami keberagaman budaya kita dan secara arif menyikapi perbedaan-perbedaan idiom-idiom etnis di dalamnya.
Matroni el-Moezany* adalah Allumni Al-in’am, sekarang sedang melanjutkan studinya di UIN SUKA Yogyakarta dan menjadi pemerhati masalah kebudayaan. Tinggal di Yogyakarta.
Oleh: Matroni el-Moezany*
Berangkat dari kegelisahan yang akhirnya menjadi nilai luhur dari terciptanya tradisi-tradisional yaitu apakah mungkin dalam nilai-nilai tradisi terdapat keluhuran dan kearifan watak manusia? Mungkinkah nilai-nilai tersebut dipertahankan sepanjang masa? Bagaimana cara menggali dan melestarikannya. Jadi dengan kita bertanya, kearifan itu bisa kita ketahui.
Salah satu dari sekian banyak pertunjukan kebudayaan atau tradisi yang khas dan sungguh unik di Madura adalah adanya Arak Arakan. Meski telah banyak berbagai pertunjukan modern yang relatif praktis dan menjanjikan kepuasannya lebih-lebih lewat Arak Arakan , masyakarat Madura membuktikan bahwa warisan kebudayaan dan tradisi nenek moyang lebih mempunyai nilai filosofis yang sangat tinggi dalam hubungan dengan masyarakat lain. Mayoritas masyarakat menyadari betul bahwa Arak Arakan adalah suatu bentuk khazanah local dan budaya yang sangat penting yang harus dijaga eksistensinya.
Arak-arakan adalah seni pertunjukan yang unik dan sederhana. Kehadirannya tidak saja dibutuhkan oleh komunitasnya, tetapi juga dinantikan oleh warga masyarakat yang lain. Upacara yang dilatarbelakangi berbagai harapan dan kehendak ini menyatu dengan kebutuhan akan tontonan yang jarang dinikmati oleh warga setempat.
Arak-arakan sebagai bentuk ritual, dalam konteks sosiologis, menjadi bentuk kebersamaan sekaligus saling ketergantungan antar warga masyarakat untuk mencapai suatu tujuan. Bahkan bentuk ritual sudah menjadi bagian hidup masyarakat. Bentuk ritual adalah penampilan kembali atau representation, atau awal penampilan, dan peniruan kehidupan, tetapi yang selalu memiliki tujuan akhir. Seperti yang diamati oleh Brandon bahwa bagi masyarakat di negara-negara Asia Tenggara, prosesi upacara tidak sekedar bermakna mistis tetapi juga tontonan. Warga masyarakat terlibat sebagai pengikut upacara sekaligus sebagai penonton, dan keduanya berlangsung secara simultan tanpa mengganggu satu sama lain.
Arak-arakan di Madura dalam konteks seni pertunjukan menjadi suatu “jembatan” antara kehidupan yang “sebenarnya” dengan seni. Seperti yang dikatakan oleh RM Soedarsono bahwa segi rohaniah upacara harus dikedepankan melalui penampakan simbol-simbol yang mengandung komponen seni pertunjukan. Simbol-simbol yang beragam ini menjadi tempat bersandar bagi penonton untuk maksud dan keperluan tertentu.
Sebaliknya keindahan yang terwujud melalui komposisi simbol estetis yang dipertontonkan pada penonton tidak semata bagi penonton “kasat mata” tetapi juga yang “tidak kasat mata” yang berhubungan dengan upacara yang terselenggara.
Komposisi simbol estetis menjadi suatu bentuk tontonan yang menyajikan aspek-aspek estetis di dalamnya, sehingga tontonan tersebut dapat dinikmati oleh seluruh warga masyarakat tidak terkecuali di luar komunitas penyelenggaranya. Maka komposisi simbol estetis dalam sebuah upacara mampu mendasari suatu perwujudan yang disebut sebagai seni pertunjukan.
Sebab, dengan adanya tradisi ini terlihat jembar (gembira) dengan ditampilkan acara Arak Arakan ini. Mereka bisa menikmati permainan yang dimainkan, artinya dalam tradisi ini tidak hanya anak-anak tapi juga orang tua serta ibu-ibu yang ikut andil menikmati keindahan dan keasyikan tradisi tersebut.
Arak Arakan merupakan kontes dengan diiringi permainan manusia berbaju kera, manusia berbaju wanita cantik, dan harimau jadi-jadian yang beri aksesoris layaknya orang berdandan cantik yang diiringi musik saronen yaitu sejenis musik yang terdiri dari terompet, kendang, gong, dan sek-sek. Sepintas Arak Arakan ini mirip seperti reog, cuma ada perbedaan dalam beberapa hal. Jika dalam musik saronen adu bagus musik dan jogetnya untuk menentukan baiknya, dalam Arak Arakan di samping musik saronennya, juga joget dan permainan yang dilakukan oleh manusia berpakaina wanita cantik, manusia perpakaian harimau dan manusia berpakian kera.
Arak-arakan ini memberikan pada pembaca satu alternatif pendokumentasian bentuk upacara ritual dengan pendekatan seni pertunjukan. Upacara yang menjadi suatu budaya lisan dicoba dikenalkan melalui budaya tulis. Selama ini sangat jarang suatu fenomena ritual dimaknai melalui pendekatan seni pertunjukan. Dengan membaca bahkan mengembangkan kearifan local ini, maka akan terkuaklah kekayaan idiom-idiom kebudayaan bangsa Indonesia. Dengan demikian kita mampu mengenal dan memahami keberagaman budaya kita dan secara arif menyikapi perbedaan-perbedaan idiom-idiom etnis di dalamnya.
Matroni el-Moezany* adalah Allumni Al-in’am, sekarang sedang melanjutkan studinya di UIN SUKA Yogyakarta dan menjadi pemerhati masalah kebudayaan. Tinggal di Yogyakarta.
Wawasan
Pesantren di Tengah Kemajuan Teknologi
Pesantren adalah sebuah institusi keagamaan yang di dalamnya mempunyai banyak nilai yang cukup strategis dan signifikan dalam memberikan arahan dan pengarahan bagi masyarakat baik dalam konteks sosial maupun keagamaan. Usaha untuk membina dan menjaga keabsahan serta karismatik sebuah pesantren tidaklah begitu mudah, akan tetapi banyak membutuhkan kesadaran dan pengorbanan, baik fisik maupun ekonomi dan lain sebagainya. Pesantren juga menjadi salah satu etika bagi moralitas remaja dan mesyarakat.
Dengan karakteristik demikian secara internal pesantren berkewajiban untuk melaksanakan tugas-tugasnya dalam masyarakat. Dan secara internal pesantren itu bagaimana bisa membangun dan berintraksi dengan masyarakat, supaya ada keterkaitan yang kerap kaitannya dengan moralitas anak diluar kegiatan pesantren.
Pada tahun 80-an Pesantren memang termasuk lembaga yang sangat terbelakang untuk menghadapi tantangan-tantangan yang dihadapinya. Khususnya dalam masalah teknik dan material yang sangat terbatas. Nah, semenjak tahun 2000 Pesantren mulai mengintropeksi diri, bagaimana keterbelakangan itu tidak dialami lagi oleh Pesantren. Pada saat itu pula Pesantren menyadari bahwa dalam lembaga itu masih banyak kelemahan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan- kehidupan di era global saat ini.
Pengembangan sistem informasi dan komonikasi di pesantren mulai digalakkan. Sedikit demi sedikit pesantren sudah bisa berintraksi dengan dunia-dunia luar, akan tetapi dalam perubahan-perubahan tersebut pesantren tetap kokoh menjaga nama baik dan karismatiknya. Pada umumnya pesantren dulu hanya diperankan oleh seorang kiai dan santrinya. Tetapi sekarang tidak. Pesantren adalah sebuah lembaga yang di dalamnya terdapat multi Ras.
Tidak jarang orang mengatakan, kalau anak didiknya disekolahkan di pesantren akan banyak ketinggalan pengetahuan yang seharusnya ia pelajari. Terutama pengetahuan yang kerap kaitannya dengan tegnologi. Mereka fikir dizaman yang tengah maraknya kecanggihan alat-alat eletronik, anak tersebut akan menjadi GAPTEK. Hal itu tak ubahnya mereka mengatakan kalau pesantren adalah sebagai pemicu dari kebodohan. Khususnya dibidang tegnologi. Lain halnya dengan sekolah-sekolah negri terfavorit yang fasilitasnya lebih dominan dari pada pesantren.
Mendengar perkataan yang sangat sengit itu, rasanya tidak terima kalau pesantren di fonis sebagai salah satu penyebab salah satu kebodohan anak. Dewasa ini jika kita fikir-fikir, pendidikan dipesantren ataupun non pesntren pada hakikatnyan sama. Hanyalah sebagian kecil saja yang membedakan, yaitu sistem pengajaran dan pelajaannya. Kalau di pesantren siswanya banyak di tuntut untuk mendalami ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu yang bernilai Religius, seperti pelajaran kitab kuning ( tafsir, fiqih, tasawuf, hadits dan sebagainya). Namun di sekolah negri tidak.
Belajar ilmu agama yang memang erat kaitannya dengan islam bukan hanya kewajiban kita sebagai orang muslim, di samping itu juga agar bisa membentengi kita dan anak-anak didik kita, bagaimana berkiprah di masyarakat nanti, tidak hanya mencukupkan Yasin dan Tahlil saja. Pesantren cukup banyak berperan dalam kehidupan sosial. Yang jelas tujuan utuma dari pesantren tak lain untuk mencetak anak didiknya agar berwawasan luas mengenai ilmu keagamaan dan berakhlakul karimah dengan baik.
Namun bukan berarti harus meninggalkan pelajaran umum. Justru sekarang banyak allumni pesantren yang melanjutkan studinya kejenjang yang lebih tinngi tidak kalah saing dengan orang-orang memang mengenyam pendidikan disekolah terfavorit. Kita dapat membuktikan bahwa tingkat kemampuan dan keberhasilan anak tidak sepenunnya bisa diukur di sekolah mana mereka itu belajar. Namun kerajinan serta minat anak yang menjadi acuan agar supaya mereka menjadi orang yang sukses. Apalagi di zaman sekarang manyoritas anak mengalami kemerosotan yang begitu pesat. Jika tidak memiliki jiwa yang teguh pendirian dan berakhlakul karimah, kemungkinan besar akan terseret oleh kehidupan-kehidupan Trend yang berbau kelakuan negatif saat ini.
Sangat naif sekali melihat anak atau ramaja yang kerjaanya hanya nongkrong kesana-kemari. Bahkan mereka bangga dengan model-model yang banyak mengundang hal-hal negatif.
Sangat naif sekali kalau semestinya anak-anak muda menjadi teladan penerus bangsa, sedangkan kehidupannya telah diwarnai dengan hal-hal yang senonoh. Adapun salah satu alternatf untuk meminimalisir peristwa-peistiwa tersebut yaitu dengan adanya pesantren. Dalam sebuah pesantren, anak bisa ditolerir agar tidak bebas berkeliaran, bahkan dilarang keras keluar dari lingkungan pesantren tanpa seizin petugas. Karena jika anak itu sudah bergaul bebas, otomatis ia akan ikut dan meniru bagaiman tingkahlaku teman tersebut.
Fungsi pesantren sebagai institusi sosial yaitu sebagai berikut. Pertama, menjadi sumber nilai dan moralitas. Kedua menjadi sumber pendalaman nilai dan ajaran keagamaan. Ketiga, menjadi pengendali atau filter dengan perkembangan moralitas dan kehidupan spiritual. Keempat, menjadi perantara berbagai kepentingan yang timbul dan berkembang di masyarakat dan menjadi sumber praksis dalam kehidupan. Nah, dengan hal itu kita bisa lihat betapa pentingnya sebuah pesantren dalam sebuah kehidupan masyarakat.
Marsus Ala Utsman* Kelahiran Sumenep, sekarang masih tercatat sebagai siswa XIIB SMA Pesantren Al-In’am.
e-mail: marsus_nu@yahoo.co.id.
Pesantren adalah sebuah institusi keagamaan yang di dalamnya mempunyai banyak nilai yang cukup strategis dan signifikan dalam memberikan arahan dan pengarahan bagi masyarakat baik dalam konteks sosial maupun keagamaan. Usaha untuk membina dan menjaga keabsahan serta karismatik sebuah pesantren tidaklah begitu mudah, akan tetapi banyak membutuhkan kesadaran dan pengorbanan, baik fisik maupun ekonomi dan lain sebagainya. Pesantren juga menjadi salah satu etika bagi moralitas remaja dan mesyarakat.
Dengan karakteristik demikian secara internal pesantren berkewajiban untuk melaksanakan tugas-tugasnya dalam masyarakat. Dan secara internal pesantren itu bagaimana bisa membangun dan berintraksi dengan masyarakat, supaya ada keterkaitan yang kerap kaitannya dengan moralitas anak diluar kegiatan pesantren.
Pada tahun 80-an Pesantren memang termasuk lembaga yang sangat terbelakang untuk menghadapi tantangan-tantangan yang dihadapinya. Khususnya dalam masalah teknik dan material yang sangat terbatas. Nah, semenjak tahun 2000 Pesantren mulai mengintropeksi diri, bagaimana keterbelakangan itu tidak dialami lagi oleh Pesantren. Pada saat itu pula Pesantren menyadari bahwa dalam lembaga itu masih banyak kelemahan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan- kehidupan di era global saat ini.
Pengembangan sistem informasi dan komonikasi di pesantren mulai digalakkan. Sedikit demi sedikit pesantren sudah bisa berintraksi dengan dunia-dunia luar, akan tetapi dalam perubahan-perubahan tersebut pesantren tetap kokoh menjaga nama baik dan karismatiknya. Pada umumnya pesantren dulu hanya diperankan oleh seorang kiai dan santrinya. Tetapi sekarang tidak. Pesantren adalah sebuah lembaga yang di dalamnya terdapat multi Ras.
Tidak jarang orang mengatakan, kalau anak didiknya disekolahkan di pesantren akan banyak ketinggalan pengetahuan yang seharusnya ia pelajari. Terutama pengetahuan yang kerap kaitannya dengan tegnologi. Mereka fikir dizaman yang tengah maraknya kecanggihan alat-alat eletronik, anak tersebut akan menjadi GAPTEK. Hal itu tak ubahnya mereka mengatakan kalau pesantren adalah sebagai pemicu dari kebodohan. Khususnya dibidang tegnologi. Lain halnya dengan sekolah-sekolah negri terfavorit yang fasilitasnya lebih dominan dari pada pesantren.
Mendengar perkataan yang sangat sengit itu, rasanya tidak terima kalau pesantren di fonis sebagai salah satu penyebab salah satu kebodohan anak. Dewasa ini jika kita fikir-fikir, pendidikan dipesantren ataupun non pesntren pada hakikatnyan sama. Hanyalah sebagian kecil saja yang membedakan, yaitu sistem pengajaran dan pelajaannya. Kalau di pesantren siswanya banyak di tuntut untuk mendalami ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu yang bernilai Religius, seperti pelajaran kitab kuning ( tafsir, fiqih, tasawuf, hadits dan sebagainya). Namun di sekolah negri tidak.
Belajar ilmu agama yang memang erat kaitannya dengan islam bukan hanya kewajiban kita sebagai orang muslim, di samping itu juga agar bisa membentengi kita dan anak-anak didik kita, bagaimana berkiprah di masyarakat nanti, tidak hanya mencukupkan Yasin dan Tahlil saja. Pesantren cukup banyak berperan dalam kehidupan sosial. Yang jelas tujuan utuma dari pesantren tak lain untuk mencetak anak didiknya agar berwawasan luas mengenai ilmu keagamaan dan berakhlakul karimah dengan baik.
Namun bukan berarti harus meninggalkan pelajaran umum. Justru sekarang banyak allumni pesantren yang melanjutkan studinya kejenjang yang lebih tinngi tidak kalah saing dengan orang-orang memang mengenyam pendidikan disekolah terfavorit. Kita dapat membuktikan bahwa tingkat kemampuan dan keberhasilan anak tidak sepenunnya bisa diukur di sekolah mana mereka itu belajar. Namun kerajinan serta minat anak yang menjadi acuan agar supaya mereka menjadi orang yang sukses. Apalagi di zaman sekarang manyoritas anak mengalami kemerosotan yang begitu pesat. Jika tidak memiliki jiwa yang teguh pendirian dan berakhlakul karimah, kemungkinan besar akan terseret oleh kehidupan-kehidupan Trend yang berbau kelakuan negatif saat ini.
Sangat naif sekali melihat anak atau ramaja yang kerjaanya hanya nongkrong kesana-kemari. Bahkan mereka bangga dengan model-model yang banyak mengundang hal-hal negatif.
Sangat naif sekali kalau semestinya anak-anak muda menjadi teladan penerus bangsa, sedangkan kehidupannya telah diwarnai dengan hal-hal yang senonoh. Adapun salah satu alternatf untuk meminimalisir peristwa-peistiwa tersebut yaitu dengan adanya pesantren. Dalam sebuah pesantren, anak bisa ditolerir agar tidak bebas berkeliaran, bahkan dilarang keras keluar dari lingkungan pesantren tanpa seizin petugas. Karena jika anak itu sudah bergaul bebas, otomatis ia akan ikut dan meniru bagaiman tingkahlaku teman tersebut.
Fungsi pesantren sebagai institusi sosial yaitu sebagai berikut. Pertama, menjadi sumber nilai dan moralitas. Kedua menjadi sumber pendalaman nilai dan ajaran keagamaan. Ketiga, menjadi pengendali atau filter dengan perkembangan moralitas dan kehidupan spiritual. Keempat, menjadi perantara berbagai kepentingan yang timbul dan berkembang di masyarakat dan menjadi sumber praksis dalam kehidupan. Nah, dengan hal itu kita bisa lihat betapa pentingnya sebuah pesantren dalam sebuah kehidupan masyarakat.
Marsus Ala Utsman* Kelahiran Sumenep, sekarang masih tercatat sebagai siswa XIIB SMA Pesantren Al-In’am.
e-mail: marsus_nu@yahoo.co.id.
Cerpen:
Good Bye, Lindri
Oleh: Silvia Tz el-Rasyid
Aku dengan kehidupanku, hanya aku yang tahu. Pagi itu aku benar-benar ter puruk karena ibu menyeramkan kopi pahit. “plasss...”. suara itu masih terus berayun-ayun di telingaku dan masih terasa perih dipipiku. Saat itu ibu begitu geram dan marah sehingga melayangkan tangannya kemudian hinggap dipipiku.
“Ibu sudah beberapa kali bilang, jangan lagi bertamu kerumah Lindri“ begitulah ibu dengan kemarahannya meledak. Aku hanya bisa menundukkan kepala dan meneteskan air mata dipipi.
Aku selalu bertanya-tanya pada diri sendiri, kenapa Lindri dan keluarganya yang harus aku jauhi. Sore ini aku kembali menemui Lindri, di tempat biasa, danau dekat warung mak Ija, penjual nasi.
“Lin, aku ngak tahu, kenapa orang tuaku melarang kita berkomonikasi“
“Apa salah dan dosaku kak, mengapa harus ada tabir di antara kita?“ suaranya lirih dan lembut penuh kekecewaan.
“Maafkan kakak Lin, karena telah gagal menjadi seorang kakak yang baik“ Aku berusaha meraih pipinya, tapi sesegera ia mengusap air matanya dengan jemari lentiknya. Satu sampai dua jam, aku dan Lindri hanya membungkam, disaksikan para kodok yang sedang menyanyikan lagu asmara. Membuat aku merasakan sesuatu yang beda dari sebelumnya. Mungkinkah aku sedang mencampur adukkan perasaan ini?. Lindri menjadi adikku ataukah hari ini aku menganggapnya sebagai kekasihku. Aku tidak boleh menghianati persaudaraan ini.
“Lindri, kakak pulang dulu. Jaga kesehatan ya, jangan lupa makan teratur“ ucapku.
“Lindri ingin banget mengunjungi rumah kakak tapi....”
“Sudahlah, kakak yakin besok atau lusa semuanya akan berubah”
Tok tok tok... “Assalamu‘alaikum,“ kalimat pertama sesampainya didepan pintu. Kudengar suara sandal jepit ibu sedang menghampiri pintu yang beru saja kuketok.
“Salam... dari mana saja Jono?“ selalu kata-kata itu dan ketutnya menjadi camilanku setiap pulang kerumah,“ “Dari teman bu,“ “Jangan pikir ibu tidak tahu kelakuanmu didanau, menemui si Lindri putri dari juragan Slamet itu kan?“ Aku terkejut ketika ibu memfokuskan penbicaraannya terhadap juragan Slamet. Dari mana ibu mengetahui hal itu ?.
Aku selalu berusaha mencari tahu, mengapa kelurga ini melarangku bertamu kerumah Lindri. Salah satu usahaku, aku sering kali mendekatkan telinga dipintu tertutup rapat, kamar ibu dan bapak. Saat mereka berbincang renyah dengan nada berbisik-bisik. Mereka tidak pernah memberikan satu alasanpun padaku, lebih-lebih ibu. tapi kata bapak, keluraga Lindri pernah menyakiti ibu.
“Jono, sebentar“ perlahan aku membalikkan badan kearah suara itu. Suara yang menggelegar, ciri khas suara bapak. Seakan membangunkan binatang-binatang liar yang tertidur pulas ditengah hutan. “Mau menemui si Lindri lagi, hah?“ Sekali lagi aku tak membalas dua patah kalimat bapak. Sudah kuduga, bapak memang tidak hafal kata-kata lain selain itu dan itu saja. Aku rindu danau itu. Dua hari ini, aku tidak bisa menemui Lindri karena ibu menyibukkanku dengan pekerjaan rumah. Begitulah siasat ibu agar aku tidak menemui Lindri didanau. Pada hal sekarang Lindri sedang sedih karena akan ditunangkan dengan pilihan orang tuanya, yang tidak ia cintai.
Lindri pasti membutuhkan aku. apa benar yang dikatakan bapak, kealurga Lindri pernah menyakiti ibu. Siniskah mereka?. Kejam dan brutalkan mereka?. Atau bapak membohongiku. Siapa sebenernya yang harus aku percaya. Ibu dan bapak?. Atau Lindri dan keluarganya yang selama ini salalu ramah dan baik padaku?.
Pagi ini aku menanyakan sesuatu pada ibu. “ibu, kalau boleh, Jono ingin minta penjelasan sama ibu. Tolong katakan sejujurnya, ada apa diantara ibu dengan keluarga Lindri?. Jelaskan sesuatu tentang hal hal itu!.“ Aku tidak berani menatap sepasang mata ibu. “Jono, tatap mata ibu“ sepertinya pagi ini aku merasakan kedamaian, tutur kata ibu yang lembut membuat aku berjiwa tenang dan merasa memiliki sesuatu yang baru yaitu, kedamaian yang selama ini kurindukan. Kembali ibu melanjutkan pembicaraannya, “ibu minta maaf Jono, karena ibu tidak bisa memberikan penjelasan apa-apa“
“Tapi kenapa Lindri harus terlibat bu, apa ia pernah menyakiti ibu?. Jono sangat menyayangi Lindri karena Jono menganggapnya sebagai adik kandung“
“Jadi... slama ini kamu dekat sama Lindri bukan karena kamu suka sama dia?“
“Tidak, sama sekali tidak“
“Jono, ibu tahu niat baik kamu, tapi apapun alasan kamu, ibu tetap tidak akan mengijinkan kamu dekat sama Lindri apalagi keluarganya“
“Tapi...“
“Sudah, jangan ibu bikin emosi lagi“
Aku tak berkutik dan tidak tahu lagi harus bagaimana. Tapi aku tidak boleh menyerah. Aku harus bisa mengambil hati ibu agar mau memberikan satu penjelasan, karena aku yakin, pada akhirnya ibu pasti luluh. Tidak mengapa kemaren dan hari ini gagal tapi esok pasti kudapati.
Hari ini adalah hari kesepuluh, aku absen menemui Lindri. Aku akan mencoba membujuk ibu lagi, “bu,“ kurengkuh tangan ibu.
“Jono, ibu paham. Sudah saatnya ibu menceritakan semuanya. Dan tak layak ibu membebani kamu seperti ini“ Ibu menghela napas sejenak.
“Detik ini ibu akan menceritakan sesuatu, tentang masa lalu ibu“ Sambil membelai-belai rambutku, ibu memulainya.
“Dulu, bapak Lindri adalah tunangan ibu.“ Betapa sorot mataku tertuju kemasalalu ibu. Seakan masa-masa itu hidup kembali. Tak sabar aku menunggu kronologisnya.
“Selama lima tahun ibu dan bapak Lindri mengikat hubungan. Selama itu, ibu menganggap baik-baik saja dengan hubungan itu. Tapi...“ Ibu memelukku dengan erat dan hangat, menumpahkan kasih sayangnya. “Tapi, bapak Lindri menghianati ibu. Dia melamar Mia, ibu kandung Lindri. Tanpa memutuskan ibu” Perlahan percikan air mata ibu menetes kelenganku ditengah pelukannya “pada hal ibu sangat menyayanginya, Jono.
Dan ibu tidak pernah berpaling darinya. Karena lamarannya diterima oleh Mia, maka seminggu kemudian mereka melangsungkan akad pernikahan.“ Aku pun tidak kuat membendung air mata ini semakin menderas. “ Setelah beberapa bulan kemudian, ibu menerima telpon dari bapak Lindri. Dia minta maaf dan mengakui kesalahannya. Dia menikahi Mia karena punya segalanya dibanding ibu “. Ibu menghela napas lagi “dua tahun kemudian, ibu bertemu dengan bapakmu. Ibu merasa nyaman dan bahagia deagannya dan tak lama kamudian ibu menikah dengannya. Itu sebab, mengapa ibu melarang kamu dekat dengan Lindri sekaligus keluarganya. Ibu sangat sakit hati atas sifat bapak Lindri.“ Air mataku seakan terkuras. Aku tidak membayangkan, jika aku adalah ibu.
Jika Lindri tahu akan hal ini, pasti sangat sedih. Aku tidak ingin dia kecewa dengan bapaknya. Tapi, bagaimanapun dia harus meneriama kenyataan in. Dan hari ini aku akan membuka lembaran baru. Hidup tanpa seorang adik Lindri hanyalah teman biasa. Entah mengapa semua ini terjdi padaku.
Silvia, XIIB SMA Pesantren Al-In’am
Sebongkah Pengorbanan
Oleh : Faizah, VIII B Mts Al-In’am
Iza, sudah dua hari ini tidak keluar dari kelasnya. Sepi, sunyi terasa menyatu dijiwanya, yang ada di pikirannya hanyalah Evan. Disela-sela kesepiannya, ia mengambil buku hariannya. Ia curahkan segala isi hatinya.
Kepasrahan telah kupupuk dalam hati untuk menhapus duka
Yang menyelimuti jiwa...
Namun ternyata, aku kalah dalam bayangmu
Kasih, sekian lama kuarungi langkah tanpa dirimu
Kini yang tersisa hanyalah kisah lama yang membisu
Diantara kita berdua.
Seusai curhatannya, ia meletakkan bolpennya. Tiba-tiba Cinta datang.
“Iza, Ilfa nunguin kamu tuh, diluar“ kata Cinta. Iza segera menemui Ilfa.
“Hai Fa, uda lama menunggu?“
“Ya nggaklah, baru semenit“ balas Ilfa. Dan ia memainkan ponselnya.
“Fa, kok cuma mainin Ponsel sih, mau ngomong apa?“ tanya Iza.
“Iza, masihkah dihatimu tersimpan segelintir cinta untuk Evan?“ tanpa basa-basi Ilfa telanjangkan kata-katanya.
Iza menjatuhkan pandangannya disetiap orang yang berlalu lalang disekitarnya. Kemudian ia menumpahkan jawaban.
“Jujur, aku nggak bisa ngerubah presaan itu, Fa!“
“Apa kamu masih mencintai Evan?“ tanya Ilfa sekali lagi.
“Maafin aku Fa“ jawab Iza.
“Jika memang semua ini benar, inilah reaksinya, cinta memang tak mesti memiliki. Perlu kamu tahu Za, aku ingin orang yang aku cintai bahagia, jadi tolong buat dia bahagia. Demi semuanya, aku rela“
Walau ada sebutir air mata yang tertahan dimatanya namun Ilfa yakin pengorbanan ini lebih baik.
“Apa maksud perkataanmu tadi, Fa?“ Iza berkata kaku.
“Bahagiakan Evan!“ Ilfa mendekatkan suaranya ketelinga Iza. Kemudian ia beranjak pergi.
Setenang samudra hati kita...
Tanpa badai dan gelombang, walau angin datang
Mencoba untuk menggoyah hatiku
Dan untaian cinta yang kita rajut
Ditengah sesaknya nafas duka, semoga kan bertahan
Menyempan asa dan harapan disetiap relung jiwa kita.
Angin segera menerpa pohon ketika Iza mengenjakkan kaki diperaduannya. Kini, ia bermaksud mengejar cinta yang tlah lama terkubur, mengejar Evan yang slalu menjadi penghias mimpinya. Tanpa lelah Iza terus melangkahkan kakinya tuk menemui Evan.
Alangkah terkejutnya saat Evan membuka pintu dan menemukan Iza dihadapannya yang tengah berdiri. Mereka terpaku, ribuan kata terengkai dalam hati, namun apalah daya, bibir tak mampu brucap untuk melukisnya. Sementara api asmara semakin lama semakin berkobar. Mereka saling menatap dalam kebisuan.
“E... Evan,“ sapa Iza.
“Iza... “ ucapannya terpotong.
“Evan, aku datang untuk menemuimu dan mencari sesuatu yang telah lama menghilang. Ada orang bilang, jika mimpi tak datang menghampiri kita, maka kita yang harus menghampirinya“
“Apa maksud?“
“Van, dulu, sekarang maupu selamanya. Perasaan ini akan terus terpatri dan tidak akan pernah mengelupas“ Jalasnya. “Van, dengar aku. Ilfa dan Cinta yang meyakinkan aku untuk mendatangimu“
“Za, aku tidak bisa berbohong lagi. Cintaku seutuh bulan purnama dilangit ketujuh. Seayu pesonamu. Secantik taman Firdaus. Dan setulus hati ini“ Evan merengkuh tangan Iza dan meletakkan didadanya berakhir semua keraguan yang tersisa hanyalah kebahagiaan.
Neng Ningsih
Cerpen Selendang Sulaiman*
Langit biru terang, bulannya bulat bercahaya. Dengan kerlip segelintir bintang. Serupa tahi lalat disudut atas kanan bibir Ningsih. Parasnya seperti purnama. Berperawakan sedang, antara orang Belanda dan Jepang. Langsing, dengan tubuh sintal memikat, langgam lenggoknya lembut, lambai tangannya laksana kepak sirip ikan, langkahnya bagai ombak pasang ke tepian, ketika bertegur sapa, halus, sehalus layar berkibar. Sesepoi angin mendesir halus di tepi pantai.
”Neng,” begitu orang-orang memanggilnya. Kepribadiannya yang santun membuat orang-orang kampung kagum. Sebab beda dengan kakak adiknya, Bapak Ibunya dan masyarakat setempat sekampungnya. Padahal ia dilahirkan di kampung yang sama dan nenek moyang yang sama, yang ketika bicara atau bercakap cendrung keras dan lantang. Mereka dikenal sebagai manusia pasir. Sebab saban hari mereka tidur tempatnya di atas pasir. Ningsih hidup di tengah keluarga sederhana.
Di antara rumah-rumah sederhana, memanjang pantai, selayak deretan perahu-perahu. Pekerjaan bapaknya nelayan. Sebagaimana pekerjaan para masyarakat yang hidup di tepi pantai. Setiap menjelang malam, para nelayan menuju perahunya masing-masing. Bapak Ningsih dengan gagahnya menggendong karung di punggung kananya. Ia kelihatan semangat sekali tampak dari langkah kakinya sebagaimana para Prajurit Arya Wiraraja sedang berjalan menuju arena perhelatan perang melawan para pasukan yang dikirim raja Buleleng dari Bali untuk menculik Putri Raja di Keraton. Sedang di tangan kirinya, buntalan jala, dan jaring, serta sebungkus nasi jagung. Tidak pernah lupa sebotol kecil kopi kental bergantung di pinggang kanannya, sebagai penangkal kantuk. Di sana perahu-perahu bergoyang-goyang bermain angin. Mereka pada siap mengayuh dayung, jalankan perahu menyapu gelombang ombak dan badai sekalipun. Demi sekedar sesuap nasi untuk menghidupi anak istri.
”Ka’, udara malam dingin sekali. Ini, jadikanlah penghangat tubuhmu!” Saran ibu Ningsih pada suaminya seraya menyodorkan buntalan sarung. Suaranya serak mendayu diserpih angin musim, mengalun bersama kibar layar dan kecipak riak anak ombak, busa-busa hilir mudik ke tepian mencium pasir, memilin kapuk, membentuk buih. Tidak jauh perahu lepas landas dari pangkalannya. Ningsih tergopoh berlari kecil, sedikit terbirit menuju pantai, mengejar laju perahu bapaknya yang kian menengah, tiang layar tampak gagah, berkibar.
”Bapak, pak...! hati-hati.!” Teriaknya, sekeras mungkin menjangkau jarak. Dari atas perahu, bapaknya memberi isyarat, mengibas-ngibaskan buntalan selimut di tangannya. Ningsih tersenyum. Berbalik menuju rumahnya. Sebelum malam larut, ia membenamkan mata. Mencipta mimpi tentang tujuh bintang terangkai di jala dan jaring. Atau tentang bulan yang jatuh di kain layar perahu.
***
Burung-burung camar berkicau di reranting pohon cemara, sahut menyahut. Kecipak lirih anak ombak damai menyisir bibir pantai sesepoi angin mendesir. Pertanda pagi di ambang cakrawala. Sebentar lagi, tepi pantai di penuhi perahu-perahu yang semalaman arungi lautan. Kaum perempuan, para istri, kembali jaga dari tidurnya meski belum tanak. Begitupun Ningsih, dengan ringan melepas mimpi di atas dipan.
Perahu-perahu bersandar. Suasana pagi berganti riuh oleh keramaian penuh kegirangan kaum perempuann, para istri serta anak-anak mereka, menyambut kedatangan sang suami.
Bocah-bocah lugu bermain pepasir. Selayak menoreh cita-cita dan impian. Selayak sebuah orkestra memecah buih di tepian, percakapan dan senda gurau mereka penuh kebahagiaan. Sempurnalah pagi, meski hanya dengan sebersit senyum dan gelak tawa geli anak-anak pasir bermain kejar-kejaran. Sesekali menghampiri bapaknya sambil berkata ”Bapak, ajari aku melaut!” kemudian pergi dengan gelak lugunya. Berlari lagi, kejar-kejaran menyusuri pantai.
Di antara ria bocah bocah, Ningsih penuh semangat membantu bapaknya, meski sekedar mengangkat seperangkat jala dan jaring satu persatu. Terpaan sinar matahari, terasa hangat, sehangat kopi yang Ibu Ningsih persipkan buat suaminya. Bersama sejenak mereka istirahat menikmati kopi yang telah disediakan oleh kaum istri. Rasanya tidak terlalu manis dan tidak pahit, dibikin sedikit kental. Untuk melengkapi istirahat, disulutnya sebatang rokok lintingan di celah sepasang bibirnya. Dengan satu hisapan, dadanya membusung ke depan, kedua matanya melek, sedikit berdahak. Maklum rasa tembakaunya masih rasa alami. Bau asap rokok itu, tidak menjadi masalah bagi kaum perempuan, para istri, sebab itu sudah menjadi biasa. Seruputan demi seruputan, hisapan demi hisapan, cerita demi cerita, dan ketawa demi ketawa usai melengkapi waktu istirahatnya. Selanjutnya bekerja lagi, dengan semangat yang tiada pernah rapuh layaknya batu karang. Semangat meraka tidak seperti air laut yang ombaknya terjadi pasang surut.
”Ah.....!!! akhirnya, selesai juga pekerjaan kita!” kata salah satu nelayan disambung dengan hisapan dalam rokok lintingan di bibirnya. Bersama-sama mereka kembali menuju rumahnya masing-masing. Meninggalkan perahu-perahu yang berderet rapi di pangkalannya, di tepian. Layar berkibar, seolah memberi salam. Perahu diistirahatkan. Kecuali layar yang tetap berkibar berdansa bersama angin. Para nelayan istirahat. Bapak Ningsih tergolek lesu di atas pasir dalam mandhapa. Melepas lelah dan kantuk. Hanya suara angin mendesir menyisir butir-butir pasir dan daun-daun mungil cemara di belakang rumahnya. Matahari beranjak, warnanya kemerahan.
Tidak seperti biasanya, para nelayan bersantai ria di rumahnya masing-masing. Sore itu tak satu nelayan yang kelihatan sibuk mempersiapkan segala peralatan untuk melaut. Malam harinya, perahu-perahu hanya bergoyang di pangkalannya. Sebab para nelayan tidak lepas landas melaut. Keesokan harinya, pagi menjadi sunyi. Tepi pantai sepi. Tanpa percakapan, tanpa gurauan, tanpa gelak tawa, pun tanpa girang bocah-bocah bermain pasir. Hanya anak ombak tenggelam kepalung cahaya mentari pagi. Bersama ikan menari ria, saling kejar di lautan, mengepakkan siripnya. Dan rembulan usai merampung purnama.
Satu minggu tepi pantai dan perahu ditinggal nelayan. Sebab sudah menjadi tradisi dan bahkan menjadi hukum adat warga setempat di kampung tersebut. Setiap pergantian musim, para nelayan tidak melaut. Sebab pada waktu tersebut merupakan hari naas para nelayan. Bagi para nelayan itu bukan masalah. Lantaran mereka menjadi ada waktu untuk ngumpul bersama dengan keluarga di malam hari. Bahkan di sempatkan untuk bertandang ke rumah-rumah tetangga. Satu minggu pula, bau amis ikan-ikan yang khas tak lagi tercium. Layar hanya berkibar mendebarkan kerinduan laut pada perahu-perahu yang menari di sisi bibirnya. Hanya Ningsih berdiri sendiri melepas pandang ke lautan sampai pada puncak bertemu langit biru.
Pekerjaan itu, Ningsih lakukan setiap sore. Selain untuk menikmati indahnya senja ia torehkan impian dan cita-cita ke jantung matahari. Tentang masa depan saudar-saudaranya serta anak cucunya kelak. Satu minggu berlalu. Nasib naas telah jauh dari perahu-perahu. Para nelayan kembali melaut, sebagaimana sedia kala. Bersama senja yang memantulkan seluit merah jingga yang timbul tenggelam di tubuh gelombang menjemput perahu. Para nelayan dengan gagahnya menuju perahunya masing-masing.
Dengan segala persiapan sebagai bekal di tengah lautan menjaring ikan-ikan.
Heningpun pecah, seiring deru parahu cemara dan gelombang mencipta nada-nada. Layarpun berkibar menantang amukan badai bila tiba-tiba datang menghempas perahu. Seraya menyeruput kopi, Bapak Ningsih beranjak bangun bersiap diri, bergegas arungi luasnya lautan, menyibak gelombang dan memecah gelap serta dinginnya malam. Seperti biasa, istrinya, ibu Ningsih mengikuti dari belakang, sebelum perahu dilayarkan buntalan sarung disodorkan dan sepatah pesan kata mesra ”hati-hati”. Begitupun Ningsih, dengan setia mengantar bapaknya Perahu berlayar, tingalkan pantai. Ningsih berlalu lalang sejenak, duduk di tepi. Kedua tangannya dijanggahkan, bersandar. Sepasang kakinya dibiarkan menjulur, dicium anak ombak mengantar kapuk-kapuk berlian. Tatapnya menjurus jauh, lepas bebas, buntuti kibar layar di sana, di tengah lautan. Seolah perahu itu menuju cakrawala.
Tiba-tiba angin bertiup kencang. Daun cemara menderuh. Ningsih kedinginan, memeluk erat lututnya. Kelopak matanya kian tajam memicing. Tanpak perahu bergoyang terhempas angin, selayak badai menyambar batu karang. Ia panik. Sesaat kemudian angin itu raib, kemudian senyap. Perahu lenyap pada keterbatasan pandang. Ningsipun bangun dari duduknya, menghela nafas dalam-dalam, beranjak menuju rumahnya. Rembulan melingsir keperaduannya.
Di ufuk timur selilit merah semu mewarnai cakrawala. Burung camar riang berdendang kicau serupa instrumen pagi buta. Para perempuan, kaum istri telah jaga dari lelap tidurnya. Sehabis beres-beres dan melakukan kewajiban di dapur. Meraka keluar menuju pantai, berderet menanti perahu-perahu tiba. Dari kejauhan, di tengah laut tampak layar berkibar. Wajah-wajah ceria terbias di antara pernak-pernik buih yang pecah dihablur badai angin. Dan perahu-perahu itu, bergoyang-goyang kian menepi. Bocah-bocah berteriak memanggil-manggil bapaknya, mereka senang kegirangan sebab bapaknya kembali pulang. Suaranya yang lugu beradu nyaring dengan debur ombak dan deru daun cemara diterpa angin. Sedang ibu-ibu mereka, Ningsih hanya bersenyum kecil mengulum kecemasan, khawatir ada salah satu perahu yang tak kembali. Sebab cuaca sedang buruk dan firasatnya mereka juga buruk.
Suasana meriuh. Perahu-perahu telah menepi. Namun, terasa ada yang kurang. Satu perahu masih belum menepi. Ibu Ningsih berdiri tegak menatap jauh ke laut lepas. Wajahnya diliputi kecemasan. Ningsih gelisah, sesekali tengadah. Matahari melak, bertengger di pundak-pundak gelombang berbadai, cahayanya timbul tenggelam. Perahu Bapak Ningsih masih belum juga muncul. Ningsih dan ibunya serta nelayan-nelayan yang lain menanti dengan sabar. Wajah mereka diliputi keresahan. Perasaan takut menjelma. Prasangka burukpun lahir terbayang angin dan badai yang semalaman menghantam batu karang.
Semakin hanyut dalam perasangka-perasangka buruk, semakin pula matahari menyengat badan mereka yang tengah terjurus lurus di atas kepalanya. Ningsih menangis, air matanya tumpah, lebur bersama asin air laut menghantar gelombang. Sementara bocah-bocah itu hanya melongo-longo tak mengerti, melihat Ningsih yang terisak dalam tangisnya. Matahari semakin condong ke ufuk barat. Perahu yang ditunggangi Pak Sujakna masih tak kembali. Hingga malam merenggut senja.
Kesedihan meruah di tepi pantai. Sementara para nelayan yang lain pulang ke rumahnya masing-masing. Ningsih dan Ibunya masih mematung kaku menghadap laut. Air matanya semakin deras mengalir. Rembulanpun mesum malam itu. Dan bintang-gemintang seolah enggan untuk berkedip hiasi malam yang kelam. Ningsih rubuh, tubuhnya jatuh di atas pasir. Keresahan, kecemasan, dan ketakutan oleh perasangka dan firasat buruknya membuatnya putus asa. Bersimpuh tak berdaya, tengadah memanjat do’a penuh harap. Namun, takdir tidak berpihak padanya.
*Penulis adalah Allumnus Sanggar Conglet Al-in’am. Bergiat di Lesehan Sastra Kutub, Tahlilan Sastra Matapena LkiS, Sekolah Seni AfterNuun, dan di komunitas Kosong Yogyakarta. Sekarang masih melanjutkan studinya di Yogyakarta.
E-mail: bilal.leman@yahoo.com.
Oleh: Silvia Tz el-Rasyid
Aku dengan kehidupanku, hanya aku yang tahu. Pagi itu aku benar-benar ter puruk karena ibu menyeramkan kopi pahit. “plasss...”. suara itu masih terus berayun-ayun di telingaku dan masih terasa perih dipipiku. Saat itu ibu begitu geram dan marah sehingga melayangkan tangannya kemudian hinggap dipipiku.
“Ibu sudah beberapa kali bilang, jangan lagi bertamu kerumah Lindri“ begitulah ibu dengan kemarahannya meledak. Aku hanya bisa menundukkan kepala dan meneteskan air mata dipipi.
Aku selalu bertanya-tanya pada diri sendiri, kenapa Lindri dan keluarganya yang harus aku jauhi. Sore ini aku kembali menemui Lindri, di tempat biasa, danau dekat warung mak Ija, penjual nasi.
“Lin, aku ngak tahu, kenapa orang tuaku melarang kita berkomonikasi“
“Apa salah dan dosaku kak, mengapa harus ada tabir di antara kita?“ suaranya lirih dan lembut penuh kekecewaan.
“Maafkan kakak Lin, karena telah gagal menjadi seorang kakak yang baik“ Aku berusaha meraih pipinya, tapi sesegera ia mengusap air matanya dengan jemari lentiknya. Satu sampai dua jam, aku dan Lindri hanya membungkam, disaksikan para kodok yang sedang menyanyikan lagu asmara. Membuat aku merasakan sesuatu yang beda dari sebelumnya. Mungkinkah aku sedang mencampur adukkan perasaan ini?. Lindri menjadi adikku ataukah hari ini aku menganggapnya sebagai kekasihku. Aku tidak boleh menghianati persaudaraan ini.
“Lindri, kakak pulang dulu. Jaga kesehatan ya, jangan lupa makan teratur“ ucapku.
“Lindri ingin banget mengunjungi rumah kakak tapi....”
“Sudahlah, kakak yakin besok atau lusa semuanya akan berubah”
Tok tok tok... “Assalamu‘alaikum,“ kalimat pertama sesampainya didepan pintu. Kudengar suara sandal jepit ibu sedang menghampiri pintu yang beru saja kuketok.
“Salam... dari mana saja Jono?“ selalu kata-kata itu dan ketutnya menjadi camilanku setiap pulang kerumah,“ “Dari teman bu,“ “Jangan pikir ibu tidak tahu kelakuanmu didanau, menemui si Lindri putri dari juragan Slamet itu kan?“ Aku terkejut ketika ibu memfokuskan penbicaraannya terhadap juragan Slamet. Dari mana ibu mengetahui hal itu ?.
Aku selalu berusaha mencari tahu, mengapa kelurga ini melarangku bertamu kerumah Lindri. Salah satu usahaku, aku sering kali mendekatkan telinga dipintu tertutup rapat, kamar ibu dan bapak. Saat mereka berbincang renyah dengan nada berbisik-bisik. Mereka tidak pernah memberikan satu alasanpun padaku, lebih-lebih ibu. tapi kata bapak, keluraga Lindri pernah menyakiti ibu.
“Jono, sebentar“ perlahan aku membalikkan badan kearah suara itu. Suara yang menggelegar, ciri khas suara bapak. Seakan membangunkan binatang-binatang liar yang tertidur pulas ditengah hutan. “Mau menemui si Lindri lagi, hah?“ Sekali lagi aku tak membalas dua patah kalimat bapak. Sudah kuduga, bapak memang tidak hafal kata-kata lain selain itu dan itu saja. Aku rindu danau itu. Dua hari ini, aku tidak bisa menemui Lindri karena ibu menyibukkanku dengan pekerjaan rumah. Begitulah siasat ibu agar aku tidak menemui Lindri didanau. Pada hal sekarang Lindri sedang sedih karena akan ditunangkan dengan pilihan orang tuanya, yang tidak ia cintai.
Lindri pasti membutuhkan aku. apa benar yang dikatakan bapak, kealurga Lindri pernah menyakiti ibu. Siniskah mereka?. Kejam dan brutalkan mereka?. Atau bapak membohongiku. Siapa sebenernya yang harus aku percaya. Ibu dan bapak?. Atau Lindri dan keluarganya yang selama ini salalu ramah dan baik padaku?.
Pagi ini aku menanyakan sesuatu pada ibu. “ibu, kalau boleh, Jono ingin minta penjelasan sama ibu. Tolong katakan sejujurnya, ada apa diantara ibu dengan keluarga Lindri?. Jelaskan sesuatu tentang hal hal itu!.“ Aku tidak berani menatap sepasang mata ibu. “Jono, tatap mata ibu“ sepertinya pagi ini aku merasakan kedamaian, tutur kata ibu yang lembut membuat aku berjiwa tenang dan merasa memiliki sesuatu yang baru yaitu, kedamaian yang selama ini kurindukan. Kembali ibu melanjutkan pembicaraannya, “ibu minta maaf Jono, karena ibu tidak bisa memberikan penjelasan apa-apa“
“Tapi kenapa Lindri harus terlibat bu, apa ia pernah menyakiti ibu?. Jono sangat menyayangi Lindri karena Jono menganggapnya sebagai adik kandung“
“Jadi... slama ini kamu dekat sama Lindri bukan karena kamu suka sama dia?“
“Tidak, sama sekali tidak“
“Jono, ibu tahu niat baik kamu, tapi apapun alasan kamu, ibu tetap tidak akan mengijinkan kamu dekat sama Lindri apalagi keluarganya“
“Tapi...“
“Sudah, jangan ibu bikin emosi lagi“
Aku tak berkutik dan tidak tahu lagi harus bagaimana. Tapi aku tidak boleh menyerah. Aku harus bisa mengambil hati ibu agar mau memberikan satu penjelasan, karena aku yakin, pada akhirnya ibu pasti luluh. Tidak mengapa kemaren dan hari ini gagal tapi esok pasti kudapati.
Hari ini adalah hari kesepuluh, aku absen menemui Lindri. Aku akan mencoba membujuk ibu lagi, “bu,“ kurengkuh tangan ibu.
“Jono, ibu paham. Sudah saatnya ibu menceritakan semuanya. Dan tak layak ibu membebani kamu seperti ini“ Ibu menghela napas sejenak.
“Detik ini ibu akan menceritakan sesuatu, tentang masa lalu ibu“ Sambil membelai-belai rambutku, ibu memulainya.
“Dulu, bapak Lindri adalah tunangan ibu.“ Betapa sorot mataku tertuju kemasalalu ibu. Seakan masa-masa itu hidup kembali. Tak sabar aku menunggu kronologisnya.
“Selama lima tahun ibu dan bapak Lindri mengikat hubungan. Selama itu, ibu menganggap baik-baik saja dengan hubungan itu. Tapi...“ Ibu memelukku dengan erat dan hangat, menumpahkan kasih sayangnya. “Tapi, bapak Lindri menghianati ibu. Dia melamar Mia, ibu kandung Lindri. Tanpa memutuskan ibu” Perlahan percikan air mata ibu menetes kelenganku ditengah pelukannya “pada hal ibu sangat menyayanginya, Jono.
Dan ibu tidak pernah berpaling darinya. Karena lamarannya diterima oleh Mia, maka seminggu kemudian mereka melangsungkan akad pernikahan.“ Aku pun tidak kuat membendung air mata ini semakin menderas. “ Setelah beberapa bulan kemudian, ibu menerima telpon dari bapak Lindri. Dia minta maaf dan mengakui kesalahannya. Dia menikahi Mia karena punya segalanya dibanding ibu “. Ibu menghela napas lagi “dua tahun kemudian, ibu bertemu dengan bapakmu. Ibu merasa nyaman dan bahagia deagannya dan tak lama kamudian ibu menikah dengannya. Itu sebab, mengapa ibu melarang kamu dekat dengan Lindri sekaligus keluarganya. Ibu sangat sakit hati atas sifat bapak Lindri.“ Air mataku seakan terkuras. Aku tidak membayangkan, jika aku adalah ibu.
Jika Lindri tahu akan hal ini, pasti sangat sedih. Aku tidak ingin dia kecewa dengan bapaknya. Tapi, bagaimanapun dia harus meneriama kenyataan in. Dan hari ini aku akan membuka lembaran baru. Hidup tanpa seorang adik Lindri hanyalah teman biasa. Entah mengapa semua ini terjdi padaku.
Silvia, XIIB SMA Pesantren Al-In’am
Sebongkah Pengorbanan
Oleh : Faizah, VIII B Mts Al-In’am
Iza, sudah dua hari ini tidak keluar dari kelasnya. Sepi, sunyi terasa menyatu dijiwanya, yang ada di pikirannya hanyalah Evan. Disela-sela kesepiannya, ia mengambil buku hariannya. Ia curahkan segala isi hatinya.
Kepasrahan telah kupupuk dalam hati untuk menhapus duka
Yang menyelimuti jiwa...
Namun ternyata, aku kalah dalam bayangmu
Kasih, sekian lama kuarungi langkah tanpa dirimu
Kini yang tersisa hanyalah kisah lama yang membisu
Diantara kita berdua.
Seusai curhatannya, ia meletakkan bolpennya. Tiba-tiba Cinta datang.
“Iza, Ilfa nunguin kamu tuh, diluar“ kata Cinta. Iza segera menemui Ilfa.
“Hai Fa, uda lama menunggu?“
“Ya nggaklah, baru semenit“ balas Ilfa. Dan ia memainkan ponselnya.
“Fa, kok cuma mainin Ponsel sih, mau ngomong apa?“ tanya Iza.
“Iza, masihkah dihatimu tersimpan segelintir cinta untuk Evan?“ tanpa basa-basi Ilfa telanjangkan kata-katanya.
Iza menjatuhkan pandangannya disetiap orang yang berlalu lalang disekitarnya. Kemudian ia menumpahkan jawaban.
“Jujur, aku nggak bisa ngerubah presaan itu, Fa!“
“Apa kamu masih mencintai Evan?“ tanya Ilfa sekali lagi.
“Maafin aku Fa“ jawab Iza.
“Jika memang semua ini benar, inilah reaksinya, cinta memang tak mesti memiliki. Perlu kamu tahu Za, aku ingin orang yang aku cintai bahagia, jadi tolong buat dia bahagia. Demi semuanya, aku rela“
Walau ada sebutir air mata yang tertahan dimatanya namun Ilfa yakin pengorbanan ini lebih baik.
“Apa maksud perkataanmu tadi, Fa?“ Iza berkata kaku.
“Bahagiakan Evan!“ Ilfa mendekatkan suaranya ketelinga Iza. Kemudian ia beranjak pergi.
Setenang samudra hati kita...
Tanpa badai dan gelombang, walau angin datang
Mencoba untuk menggoyah hatiku
Dan untaian cinta yang kita rajut
Ditengah sesaknya nafas duka, semoga kan bertahan
Menyempan asa dan harapan disetiap relung jiwa kita.
Angin segera menerpa pohon ketika Iza mengenjakkan kaki diperaduannya. Kini, ia bermaksud mengejar cinta yang tlah lama terkubur, mengejar Evan yang slalu menjadi penghias mimpinya. Tanpa lelah Iza terus melangkahkan kakinya tuk menemui Evan.
Alangkah terkejutnya saat Evan membuka pintu dan menemukan Iza dihadapannya yang tengah berdiri. Mereka terpaku, ribuan kata terengkai dalam hati, namun apalah daya, bibir tak mampu brucap untuk melukisnya. Sementara api asmara semakin lama semakin berkobar. Mereka saling menatap dalam kebisuan.
“E... Evan,“ sapa Iza.
“Iza... “ ucapannya terpotong.
“Evan, aku datang untuk menemuimu dan mencari sesuatu yang telah lama menghilang. Ada orang bilang, jika mimpi tak datang menghampiri kita, maka kita yang harus menghampirinya“
“Apa maksud?“
“Van, dulu, sekarang maupu selamanya. Perasaan ini akan terus terpatri dan tidak akan pernah mengelupas“ Jalasnya. “Van, dengar aku. Ilfa dan Cinta yang meyakinkan aku untuk mendatangimu“
“Za, aku tidak bisa berbohong lagi. Cintaku seutuh bulan purnama dilangit ketujuh. Seayu pesonamu. Secantik taman Firdaus. Dan setulus hati ini“ Evan merengkuh tangan Iza dan meletakkan didadanya berakhir semua keraguan yang tersisa hanyalah kebahagiaan.
Neng Ningsih
Cerpen Selendang Sulaiman*
Langit biru terang, bulannya bulat bercahaya. Dengan kerlip segelintir bintang. Serupa tahi lalat disudut atas kanan bibir Ningsih. Parasnya seperti purnama. Berperawakan sedang, antara orang Belanda dan Jepang. Langsing, dengan tubuh sintal memikat, langgam lenggoknya lembut, lambai tangannya laksana kepak sirip ikan, langkahnya bagai ombak pasang ke tepian, ketika bertegur sapa, halus, sehalus layar berkibar. Sesepoi angin mendesir halus di tepi pantai.
”Neng,” begitu orang-orang memanggilnya. Kepribadiannya yang santun membuat orang-orang kampung kagum. Sebab beda dengan kakak adiknya, Bapak Ibunya dan masyarakat setempat sekampungnya. Padahal ia dilahirkan di kampung yang sama dan nenek moyang yang sama, yang ketika bicara atau bercakap cendrung keras dan lantang. Mereka dikenal sebagai manusia pasir. Sebab saban hari mereka tidur tempatnya di atas pasir. Ningsih hidup di tengah keluarga sederhana.
Di antara rumah-rumah sederhana, memanjang pantai, selayak deretan perahu-perahu. Pekerjaan bapaknya nelayan. Sebagaimana pekerjaan para masyarakat yang hidup di tepi pantai. Setiap menjelang malam, para nelayan menuju perahunya masing-masing. Bapak Ningsih dengan gagahnya menggendong karung di punggung kananya. Ia kelihatan semangat sekali tampak dari langkah kakinya sebagaimana para Prajurit Arya Wiraraja sedang berjalan menuju arena perhelatan perang melawan para pasukan yang dikirim raja Buleleng dari Bali untuk menculik Putri Raja di Keraton. Sedang di tangan kirinya, buntalan jala, dan jaring, serta sebungkus nasi jagung. Tidak pernah lupa sebotol kecil kopi kental bergantung di pinggang kanannya, sebagai penangkal kantuk. Di sana perahu-perahu bergoyang-goyang bermain angin. Mereka pada siap mengayuh dayung, jalankan perahu menyapu gelombang ombak dan badai sekalipun. Demi sekedar sesuap nasi untuk menghidupi anak istri.
”Ka’, udara malam dingin sekali. Ini, jadikanlah penghangat tubuhmu!” Saran ibu Ningsih pada suaminya seraya menyodorkan buntalan sarung. Suaranya serak mendayu diserpih angin musim, mengalun bersama kibar layar dan kecipak riak anak ombak, busa-busa hilir mudik ke tepian mencium pasir, memilin kapuk, membentuk buih. Tidak jauh perahu lepas landas dari pangkalannya. Ningsih tergopoh berlari kecil, sedikit terbirit menuju pantai, mengejar laju perahu bapaknya yang kian menengah, tiang layar tampak gagah, berkibar.
”Bapak, pak...! hati-hati.!” Teriaknya, sekeras mungkin menjangkau jarak. Dari atas perahu, bapaknya memberi isyarat, mengibas-ngibaskan buntalan selimut di tangannya. Ningsih tersenyum. Berbalik menuju rumahnya. Sebelum malam larut, ia membenamkan mata. Mencipta mimpi tentang tujuh bintang terangkai di jala dan jaring. Atau tentang bulan yang jatuh di kain layar perahu.
***
Burung-burung camar berkicau di reranting pohon cemara, sahut menyahut. Kecipak lirih anak ombak damai menyisir bibir pantai sesepoi angin mendesir. Pertanda pagi di ambang cakrawala. Sebentar lagi, tepi pantai di penuhi perahu-perahu yang semalaman arungi lautan. Kaum perempuan, para istri, kembali jaga dari tidurnya meski belum tanak. Begitupun Ningsih, dengan ringan melepas mimpi di atas dipan.
Perahu-perahu bersandar. Suasana pagi berganti riuh oleh keramaian penuh kegirangan kaum perempuann, para istri serta anak-anak mereka, menyambut kedatangan sang suami.
Bocah-bocah lugu bermain pepasir. Selayak menoreh cita-cita dan impian. Selayak sebuah orkestra memecah buih di tepian, percakapan dan senda gurau mereka penuh kebahagiaan. Sempurnalah pagi, meski hanya dengan sebersit senyum dan gelak tawa geli anak-anak pasir bermain kejar-kejaran. Sesekali menghampiri bapaknya sambil berkata ”Bapak, ajari aku melaut!” kemudian pergi dengan gelak lugunya. Berlari lagi, kejar-kejaran menyusuri pantai.
Di antara ria bocah bocah, Ningsih penuh semangat membantu bapaknya, meski sekedar mengangkat seperangkat jala dan jaring satu persatu. Terpaan sinar matahari, terasa hangat, sehangat kopi yang Ibu Ningsih persipkan buat suaminya. Bersama sejenak mereka istirahat menikmati kopi yang telah disediakan oleh kaum istri. Rasanya tidak terlalu manis dan tidak pahit, dibikin sedikit kental. Untuk melengkapi istirahat, disulutnya sebatang rokok lintingan di celah sepasang bibirnya. Dengan satu hisapan, dadanya membusung ke depan, kedua matanya melek, sedikit berdahak. Maklum rasa tembakaunya masih rasa alami. Bau asap rokok itu, tidak menjadi masalah bagi kaum perempuan, para istri, sebab itu sudah menjadi biasa. Seruputan demi seruputan, hisapan demi hisapan, cerita demi cerita, dan ketawa demi ketawa usai melengkapi waktu istirahatnya. Selanjutnya bekerja lagi, dengan semangat yang tiada pernah rapuh layaknya batu karang. Semangat meraka tidak seperti air laut yang ombaknya terjadi pasang surut.
”Ah.....!!! akhirnya, selesai juga pekerjaan kita!” kata salah satu nelayan disambung dengan hisapan dalam rokok lintingan di bibirnya. Bersama-sama mereka kembali menuju rumahnya masing-masing. Meninggalkan perahu-perahu yang berderet rapi di pangkalannya, di tepian. Layar berkibar, seolah memberi salam. Perahu diistirahatkan. Kecuali layar yang tetap berkibar berdansa bersama angin. Para nelayan istirahat. Bapak Ningsih tergolek lesu di atas pasir dalam mandhapa. Melepas lelah dan kantuk. Hanya suara angin mendesir menyisir butir-butir pasir dan daun-daun mungil cemara di belakang rumahnya. Matahari beranjak, warnanya kemerahan.
Tidak seperti biasanya, para nelayan bersantai ria di rumahnya masing-masing. Sore itu tak satu nelayan yang kelihatan sibuk mempersiapkan segala peralatan untuk melaut. Malam harinya, perahu-perahu hanya bergoyang di pangkalannya. Sebab para nelayan tidak lepas landas melaut. Keesokan harinya, pagi menjadi sunyi. Tepi pantai sepi. Tanpa percakapan, tanpa gurauan, tanpa gelak tawa, pun tanpa girang bocah-bocah bermain pasir. Hanya anak ombak tenggelam kepalung cahaya mentari pagi. Bersama ikan menari ria, saling kejar di lautan, mengepakkan siripnya. Dan rembulan usai merampung purnama.
Satu minggu tepi pantai dan perahu ditinggal nelayan. Sebab sudah menjadi tradisi dan bahkan menjadi hukum adat warga setempat di kampung tersebut. Setiap pergantian musim, para nelayan tidak melaut. Sebab pada waktu tersebut merupakan hari naas para nelayan. Bagi para nelayan itu bukan masalah. Lantaran mereka menjadi ada waktu untuk ngumpul bersama dengan keluarga di malam hari. Bahkan di sempatkan untuk bertandang ke rumah-rumah tetangga. Satu minggu pula, bau amis ikan-ikan yang khas tak lagi tercium. Layar hanya berkibar mendebarkan kerinduan laut pada perahu-perahu yang menari di sisi bibirnya. Hanya Ningsih berdiri sendiri melepas pandang ke lautan sampai pada puncak bertemu langit biru.
Pekerjaan itu, Ningsih lakukan setiap sore. Selain untuk menikmati indahnya senja ia torehkan impian dan cita-cita ke jantung matahari. Tentang masa depan saudar-saudaranya serta anak cucunya kelak. Satu minggu berlalu. Nasib naas telah jauh dari perahu-perahu. Para nelayan kembali melaut, sebagaimana sedia kala. Bersama senja yang memantulkan seluit merah jingga yang timbul tenggelam di tubuh gelombang menjemput perahu. Para nelayan dengan gagahnya menuju perahunya masing-masing.
Dengan segala persiapan sebagai bekal di tengah lautan menjaring ikan-ikan.
Heningpun pecah, seiring deru parahu cemara dan gelombang mencipta nada-nada. Layarpun berkibar menantang amukan badai bila tiba-tiba datang menghempas perahu. Seraya menyeruput kopi, Bapak Ningsih beranjak bangun bersiap diri, bergegas arungi luasnya lautan, menyibak gelombang dan memecah gelap serta dinginnya malam. Seperti biasa, istrinya, ibu Ningsih mengikuti dari belakang, sebelum perahu dilayarkan buntalan sarung disodorkan dan sepatah pesan kata mesra ”hati-hati”. Begitupun Ningsih, dengan setia mengantar bapaknya Perahu berlayar, tingalkan pantai. Ningsih berlalu lalang sejenak, duduk di tepi. Kedua tangannya dijanggahkan, bersandar. Sepasang kakinya dibiarkan menjulur, dicium anak ombak mengantar kapuk-kapuk berlian. Tatapnya menjurus jauh, lepas bebas, buntuti kibar layar di sana, di tengah lautan. Seolah perahu itu menuju cakrawala.
Tiba-tiba angin bertiup kencang. Daun cemara menderuh. Ningsih kedinginan, memeluk erat lututnya. Kelopak matanya kian tajam memicing. Tanpak perahu bergoyang terhempas angin, selayak badai menyambar batu karang. Ia panik. Sesaat kemudian angin itu raib, kemudian senyap. Perahu lenyap pada keterbatasan pandang. Ningsipun bangun dari duduknya, menghela nafas dalam-dalam, beranjak menuju rumahnya. Rembulan melingsir keperaduannya.
Di ufuk timur selilit merah semu mewarnai cakrawala. Burung camar riang berdendang kicau serupa instrumen pagi buta. Para perempuan, kaum istri telah jaga dari lelap tidurnya. Sehabis beres-beres dan melakukan kewajiban di dapur. Meraka keluar menuju pantai, berderet menanti perahu-perahu tiba. Dari kejauhan, di tengah laut tampak layar berkibar. Wajah-wajah ceria terbias di antara pernak-pernik buih yang pecah dihablur badai angin. Dan perahu-perahu itu, bergoyang-goyang kian menepi. Bocah-bocah berteriak memanggil-manggil bapaknya, mereka senang kegirangan sebab bapaknya kembali pulang. Suaranya yang lugu beradu nyaring dengan debur ombak dan deru daun cemara diterpa angin. Sedang ibu-ibu mereka, Ningsih hanya bersenyum kecil mengulum kecemasan, khawatir ada salah satu perahu yang tak kembali. Sebab cuaca sedang buruk dan firasatnya mereka juga buruk.
Suasana meriuh. Perahu-perahu telah menepi. Namun, terasa ada yang kurang. Satu perahu masih belum menepi. Ibu Ningsih berdiri tegak menatap jauh ke laut lepas. Wajahnya diliputi kecemasan. Ningsih gelisah, sesekali tengadah. Matahari melak, bertengger di pundak-pundak gelombang berbadai, cahayanya timbul tenggelam. Perahu Bapak Ningsih masih belum juga muncul. Ningsih dan ibunya serta nelayan-nelayan yang lain menanti dengan sabar. Wajah mereka diliputi keresahan. Perasaan takut menjelma. Prasangka burukpun lahir terbayang angin dan badai yang semalaman menghantam batu karang.
Semakin hanyut dalam perasangka-perasangka buruk, semakin pula matahari menyengat badan mereka yang tengah terjurus lurus di atas kepalanya. Ningsih menangis, air matanya tumpah, lebur bersama asin air laut menghantar gelombang. Sementara bocah-bocah itu hanya melongo-longo tak mengerti, melihat Ningsih yang terisak dalam tangisnya. Matahari semakin condong ke ufuk barat. Perahu yang ditunggangi Pak Sujakna masih tak kembali. Hingga malam merenggut senja.
Kesedihan meruah di tepi pantai. Sementara para nelayan yang lain pulang ke rumahnya masing-masing. Ningsih dan Ibunya masih mematung kaku menghadap laut. Air matanya semakin deras mengalir. Rembulanpun mesum malam itu. Dan bintang-gemintang seolah enggan untuk berkedip hiasi malam yang kelam. Ningsih rubuh, tubuhnya jatuh di atas pasir. Keresahan, kecemasan, dan ketakutan oleh perasangka dan firasat buruknya membuatnya putus asa. Bersimpuh tak berdaya, tengadah memanjat do’a penuh harap. Namun, takdir tidak berpihak padanya.
*Penulis adalah Allumnus Sanggar Conglet Al-in’am. Bergiat di Lesehan Sastra Kutub, Tahlilan Sastra Matapena LkiS, Sekolah Seni AfterNuun, dan di komunitas Kosong Yogyakarta. Sekarang masih melanjutkan studinya di Yogyakarta.
E-mail: bilal.leman@yahoo.com.
Puisi
Ayat-ayat Air Mata
:Nor Khofisah
1). Angin telah leleh kirimkan salam
Berbingkai Tuhan
Huruf-huruf beterbangan
Beku ditengah gemuruh
Kesatrea-
Hiluk-pikuk hati memutar senja,
Sementara air mata bersabda
“Aku lahir dengan sebongkah keresahan“
-Pantaskah
Bila tinta berserakan dibujur langit
2). Dua kata itu
Mengungsi-
Terpahat nalar
Naluri
Hingga hasrat
Terlapas
Perih
09 Januari 2009
Oleh: Alimuddin Edmuzghaz
XIIB SMA Pesantren Al-in’am
Tangis
Saat melihat dalam mimpi
Membingkai jemari
Kuhanya bisa diam menangis
Jauh dari langkah ingatan
Tetes air mata kerap terbelenggu
Dengan sejuta angan-angan
Jauh dariku
Tak kusadari tetes air mata
Jadi mutiara cinta.
Oleh: Hoyyiima VIIIB Mts
Lentera Suci
Langkahmu laksana cahaya Ilahi
Bersinar terangi dinding keangkuhan
Tersandung kerikil tajam
Menerjang tanpa rintangan
Celah kehidupan tampak disana
Akankah hakikat muncul
Diujung penantian
Terdengar jauh dilubuk hati
Sebersit asa terlintas dimata
Tatkala lentera kesunyian
Keagungan-Mu
Kalahkan keegohan
Bersimpuh tiada bosan.
Atiqatul Faiziyah.
VII MTsB Al-in’am
Rahasia Bisu
Rindu kian bergemuru
Membisu sepanjang malam
Kutemui sunyi
Sebab tak ada lagi separuh
Paras rembulan antara kait langit
Cakrawala menari bersama
Sayup silir angin iringi fajar Shubuh
Menanti pagi
Di pucuk ilalang serai
Menyungging wajah langit
Semasih kantuk tak menyeretku
Gapura 21 Mie 2009
Oleh: Dedy Hariyono
Kls X SMA Al-in’am
Tak Ada Kata Cinta Buat Sang Penyair
Malam gelap gulita
Bulan mengintip dibalik kabut sunyi
Kau berkta
“Wahai penyair tak ada kata cinta untukmu”
Malaikat Mungkar menjemput
Mungkin hanya tinta hitam
Kanves biru temani politik cinta
Ku eja sebuah kata
Liuk-piuk tubuh kupetik bunga mutiara
Dalam jantung samudra
Ah, engkau kembali berkata:
Tak ada kata cinta untuk penyair
Biar kau menangis, merayu
Aku tetaplah aku,
Wahai sang penyair
16 Mei 2009
Imam Adi Podai. X B SMA Al-in’am
Kasih
Lama menunggu
Berlabuh senyap kutanya
Harap mengalir
Setiap detak jantung
Sejuta impian
Kupasrahkan
Satu hal, mungkin jadi kenyataan
Sebelum malam jemput
Senja hidupmu
“Kau bidadari surga”
Angin pagi datang
Hirup udara pagi
Sa’rawi XII A SMA
:Nor Khofisah
1). Angin telah leleh kirimkan salam
Berbingkai Tuhan
Huruf-huruf beterbangan
Beku ditengah gemuruh
Kesatrea-
Hiluk-pikuk hati memutar senja,
Sementara air mata bersabda
“Aku lahir dengan sebongkah keresahan“
-Pantaskah
Bila tinta berserakan dibujur langit
2). Dua kata itu
Mengungsi-
Terpahat nalar
Naluri
Hingga hasrat
Terlapas
Perih
09 Januari 2009
Oleh: Alimuddin Edmuzghaz
XIIB SMA Pesantren Al-in’am
Tangis
Saat melihat dalam mimpi
Membingkai jemari
Kuhanya bisa diam menangis
Jauh dari langkah ingatan
Tetes air mata kerap terbelenggu
Dengan sejuta angan-angan
Jauh dariku
Tak kusadari tetes air mata
Jadi mutiara cinta.
Oleh: Hoyyiima VIIIB Mts
Lentera Suci
Langkahmu laksana cahaya Ilahi
Bersinar terangi dinding keangkuhan
Tersandung kerikil tajam
Menerjang tanpa rintangan
Celah kehidupan tampak disana
Akankah hakikat muncul
Diujung penantian
Terdengar jauh dilubuk hati
Sebersit asa terlintas dimata
Tatkala lentera kesunyian
Keagungan-Mu
Kalahkan keegohan
Bersimpuh tiada bosan.
Atiqatul Faiziyah.
VII MTsB Al-in’am
Rahasia Bisu
Rindu kian bergemuru
Membisu sepanjang malam
Kutemui sunyi
Sebab tak ada lagi separuh
Paras rembulan antara kait langit
Cakrawala menari bersama
Sayup silir angin iringi fajar Shubuh
Menanti pagi
Di pucuk ilalang serai
Menyungging wajah langit
Semasih kantuk tak menyeretku
Gapura 21 Mie 2009
Oleh: Dedy Hariyono
Kls X SMA Al-in’am
Tak Ada Kata Cinta Buat Sang Penyair
Malam gelap gulita
Bulan mengintip dibalik kabut sunyi
Kau berkta
“Wahai penyair tak ada kata cinta untukmu”
Malaikat Mungkar menjemput
Mungkin hanya tinta hitam
Kanves biru temani politik cinta
Ku eja sebuah kata
Liuk-piuk tubuh kupetik bunga mutiara
Dalam jantung samudra
Ah, engkau kembali berkata:
Tak ada kata cinta untuk penyair
Biar kau menangis, merayu
Aku tetaplah aku,
Wahai sang penyair
16 Mei 2009
Imam Adi Podai. X B SMA Al-in’am
Kasih
Lama menunggu
Berlabuh senyap kutanya
Harap mengalir
Setiap detak jantung
Sejuta impian
Kupasrahkan
Satu hal, mungkin jadi kenyataan
Sebelum malam jemput
Senja hidupmu
“Kau bidadari surga”
Angin pagi datang
Hirup udara pagi
Sa’rawi XII A SMA
Curhat
Adakah Hukum Karma dalam Cinta?
Hello.. kak Redaksi, selamat y atas terbitnya buletin Ijtihad yang perdana ini.
Gini lo k’, aq pux masalah ni.. Aku pernah dapat surat dr cew and dia bilang, ktax suka m aq, tapi Q g’ menyukainya. Jadi aku bls surat itu dg jujur, klo Q g suka padaX
Eitsss... tp kalo yg ni beda, Aq jg prnah ngrim surat cnt ma cew, tp naifnya, cew tu menolakQ. Pa ini yang dinamakan hukum karma???.
Aku bingung ni... ada cew yg suka m aq, tp aku g suka m dia.
Dan ada cew yg Qcinta, tp dia g cinta m aq. Kaci solusi donnkkk..!!! :John seNespa XI SMA Al-In’am
Jawab:
Hallo jg adk...
Aq jg bngung dg mslh adk 2. Tp yg jls gini, jk adk dpt surat cnt dr cew, adk jngn lngsung nolak mentah-mentah g2, kcian kn cew tu, dia pst kcwa bngt!, sbaikx adk ngmong baik2 & apa alsan adk ko ngg’ suka m dia.
Klo yg ni... kk sranin, adk jngn lngsung ngrm srt cnt, sbaikx liat dulu sikp cew tu. Jk uda bnar2 yqn klo dia suka m adk, baru adk krm surt cntx. Pasti Ok!. [Redaksi]
NasibQ Kaleii !!!
Assalamu ‘alaikum... K Ijtihad
Gini ka’ aq suka ma cew. Sebagian tmnx blng klo dia jg suka m q. tp ada jg yg blng, klo dia tdk menyukaiQ. Q bingung nich...?. kya’x dia ngac hrapan g2 m Q. sudah 1 bulan aq PeDeKaTe m dia, tp dia ng’ berubah, malah smakin menjauh drQ, eh... terxta kata sebagian temanx dia sering Joinan m tman akrabq. Gmn donk k’ klo ky’ gini..?. tp q sadar, mungkin q ngg’ pantas m dia soalx q sederhana banget, smentra cew tu sngt cntq. Bukanx cnt tdk hrs memiliki. Nasib...nasib...! :Hasan seNa’as, Kls XIIA SMA P Al-in’am
Jawab
Wa’alaikum salam... Dik...
Ceritanya cew yg adk suka selingkuh ni y....?
Adk yg sbar y... sw2 saat nnt pst adk dpat cnt yg sjati. Tapi mungkin ja cew tu emg g suka ma adk kalei.., paling-paling dia cm ngc hrpan blaka doank. Bs ja kan dia cew 2 uda pux cow sbelumx. Cnt2 kan g bs dipaksain. Beda dg Bakso, itu ru bs dipaksain. Hehehe.... [Redaksi]
Patah HT ni...?
Assalamu ‘alaikum wr-wb.
Hello K Ijtihad yth. aq pux mslh. Gini lo k, q pux pcar, dulux Q-anggap dia kn sll stia pdq, tp trxt dia sll mnghianatiq. Kmudian aq lngsung mtusin hub-Q dgx. Kr2 slh ngg’ y aq brsikap ky g2???. Ika. VIIB Mts
Jawab:
Wa‘alaikum salam wr-wb.
Hello jg. Sbaikx gini donk dik, klo adk lg pux msalh m cowx jgn lngsung ptusn g2, cp tau adk cm coz emosi aj. Mnurut kk ni y, mungkin kemarahn 2 hx sbg bumbu kmesrahan kalie...!. tp klo adk uda bnr2 yqn dg kptusan adk, y Ok lah... ikuti aj pa kta HT adk. Mungkn 2 yg trbaik kaleiiii ! [Redaksi]
Hello.. kak Redaksi, selamat y atas terbitnya buletin Ijtihad yang perdana ini.
Gini lo k’, aq pux masalah ni.. Aku pernah dapat surat dr cew and dia bilang, ktax suka m aq, tapi Q g’ menyukainya. Jadi aku bls surat itu dg jujur, klo Q g suka padaX
Eitsss... tp kalo yg ni beda, Aq jg prnah ngrim surat cnt ma cew, tp naifnya, cew tu menolakQ. Pa ini yang dinamakan hukum karma???.
Aku bingung ni... ada cew yg suka m aq, tp aku g suka m dia.
Dan ada cew yg Qcinta, tp dia g cinta m aq. Kaci solusi donnkkk..!!! :John seNespa XI SMA Al-In’am
Jawab:
Hallo jg adk...
Aq jg bngung dg mslh adk 2. Tp yg jls gini, jk adk dpt surat cnt dr cew, adk jngn lngsung nolak mentah-mentah g2, kcian kn cew tu, dia pst kcwa bngt!, sbaikx adk ngmong baik2 & apa alsan adk ko ngg’ suka m dia.
Klo yg ni... kk sranin, adk jngn lngsung ngrm srt cnt, sbaikx liat dulu sikp cew tu. Jk uda bnar2 yqn klo dia suka m adk, baru adk krm surt cntx. Pasti Ok!. [Redaksi]
NasibQ Kaleii !!!
Assalamu ‘alaikum... K Ijtihad
Gini ka’ aq suka ma cew. Sebagian tmnx blng klo dia jg suka m q. tp ada jg yg blng, klo dia tdk menyukaiQ. Q bingung nich...?. kya’x dia ngac hrapan g2 m Q. sudah 1 bulan aq PeDeKaTe m dia, tp dia ng’ berubah, malah smakin menjauh drQ, eh... terxta kata sebagian temanx dia sering Joinan m tman akrabq. Gmn donk k’ klo ky’ gini..?. tp q sadar, mungkin q ngg’ pantas m dia soalx q sederhana banget, smentra cew tu sngt cntq. Bukanx cnt tdk hrs memiliki. Nasib...nasib...! :Hasan seNa’as, Kls XIIA SMA P Al-in’am
Jawab
Wa’alaikum salam... Dik...
Ceritanya cew yg adk suka selingkuh ni y....?
Adk yg sbar y... sw2 saat nnt pst adk dpat cnt yg sjati. Tapi mungkin ja cew tu emg g suka ma adk kalei.., paling-paling dia cm ngc hrpan blaka doank. Bs ja kan dia cew 2 uda pux cow sbelumx. Cnt2 kan g bs dipaksain. Beda dg Bakso, itu ru bs dipaksain. Hehehe.... [Redaksi]
Patah HT ni...?
Assalamu ‘alaikum wr-wb.
Hello K Ijtihad yth. aq pux mslh. Gini lo k, q pux pcar, dulux Q-anggap dia kn sll stia pdq, tp trxt dia sll mnghianatiq. Kmudian aq lngsung mtusin hub-Q dgx. Kr2 slh ngg’ y aq brsikap ky g2???. Ika. VIIB Mts
Jawab:
Wa‘alaikum salam wr-wb.
Hello jg. Sbaikx gini donk dik, klo adk lg pux msalh m cowx jgn lngsung ptusn g2, cp tau adk cm coz emosi aj. Mnurut kk ni y, mungkin kemarahn 2 hx sbg bumbu kmesrahan kalie...!. tp klo adk uda bnr2 yqn dg kptusan adk, y Ok lah... ikuti aj pa kta HT adk. Mungkn 2 yg trbaik kaleiiii ! [Redaksi]
Langganan:
Komentar (Atom)
